TEMPO.CO , Yogyakarta - Apakah Anda masih ingat dengan lagu 'Kebunku' yang biasa dinyanyikan siswa taman kanak-kanak. Syairnya berbunyi, 'Lihat kebunku, penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar melati, semuanya indah.'
Kali ini, lagu tersebut dilantunkan orang dewasa secara serempak dalam Sarasehan Budaya Keagamaan Hindu di acara Festival Seni dan Budaya Keagamaan Hindu II di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Jumat, 28 September 2012.
I Gusti Putu Surya Dharma, pemandu acara tersebut mengatakan lagu ini sengaja dinyanyikan kembali untuk membangkitkan semangat keragaman. "Sejak kecil kita diajari menghargai perbedaan di Indonesia, tentu mudah mengembalikan semangat ini ketika kita dewasa untuk menghindari penyeragaman," ujar dia seusai semua peserta sontak mengikuti aba-abanya menyanyikan lagu berjudul 'Kebunku'.
Dia melanjutkan, pelajaran lagu anak-anak ini tak berhenti di sana. "Jangan lupa, masih ada lanjutanya, setiap hari kusiram semua, mawar melati semuanya indah," dia melanjutkan. Menurut Surya, lirik penggal terakhir lagu itu mengajarkan, keragaman tak hanya dihormati dan dihargai melainkan harus pula dipelihara.
Profesor Edi Setyowati, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan periode 1990-an, yang menjadi pembicara di forum itu menilai era globalisasi mengancam keberagaman. Efeknya, kata dia tak hanya mendorong tensi penguatan keinginan masyarakat pada keseragaman budaya atau agama. "Di internal agama juga kuat tendensi itu," ujar dia.
Setyowati menilai ini menjadi efek umum yang meluas secara global dan berlaku di semua agama agama termasuk Hindu. Dia mengungkapkan salah satu hasil pengamatannya di Festival Seni dan Budaya Keagamaan Hindu ialah masih kuatnya dominasi kultur Hindu Bali. "Pementasan yang agak berbeda hanya dari kontingen Kalimantan Tengah yang kuat unsur lokalnya," kata dia.
Menurut Setyowati kebhinnekaan sebenarnya mudah ditemui jika menelusuri sejarah perkembangan seni keagamaan Hindu. Dia mencontohkan produk seni arca bertema kedewataan Hindu maupun Buddha menampilkan hasil berbeda-beda mulai dari kawasan Bengal, Cholamandala, Kamboja, Vietnam, Sumatera dan Jawa.
Karena itu, arkeolog senior itu menyarankan kalangan peneliti keagamaan dari ummat Hindu mulai memperbanyak riset efek globalisasi film Hindia dalam mendorong gejala penyeragaman dalam kultur Hindu. "Film Bollywood berpotensi menunggalkan cara nyanyian pemujaan dan penggambaran lukisan dewa," ujarnya.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM
Berita terpopuler lainnya:
Bekas Bos BNN Singapura Paksa Wanita Ini Oral Seks
Begini Modus Pencurian Bagasi Pesawat
Hantu Tahanan Perang Dunia II Muncul di Borneo?
Empat Pelindung FR Terancam Pidana
Salah Kirim SMS Mesum Berujung Penjara
Irjen Djoko Susilo Tolak Panggilan KPK
Pesan Garin Nugroho untuk ''Mas Jokowi''