TEMPO.CO, Jakarta - Bagi Joshua Oppenheimer, Anwar Congo hanyalah simbol dari kekerasan yang terjadi di Indonesia pada 1965. Menurut taksirannya, ada 10 ribu, bahkan mungkin 100 ribu, "Anwar" lain selama pembantaian pasca-1965 itu.
Lelaki kelahiran Texas, Amerika Serikat, 1974, ini mengaku, selama pembuatan film, ia melakukan perjalanan yang amat menyakitkan. Selama tujuh tahun ia bergaul dengan Anwar. Kepadanya, Anwar secara jujur dan berani bercerita mengenai pembunuhan yang dilakukannya. Anwar mungkin kecewa terhadap hasil film yang dibuat Oppenheimer.
Sebelum membuat Jagal: Act of Killing, dia telah membuat sejumlah film, seperti The Globalization Tapes, yang mengungkap masalah buruh perkebunan di Sumatera Utara; The Entire History of the Louisiana Purchase, yang meraih penghargaan Gold Hugo sebagai film pendek eksperimental terbaik di Chicago Film Festival; dan These Places We’ve Learned to Call Home, yang meraih Gold Spire di San Francisco Film Festival. Dia kini menjadi peneliti senior di Dewan Riset Kesenian dan Humaniora Inggris.
Di tengah kesibukannya memperkenalkan Jagal di Toronto, Oppenheimer menjawab melalui surat elektronik sejumlah pertanyaan dari Tempo.
Apa yang hendak Anda katakan melalui film ini?
Saya ingin menunjukkan kebudayaan seperti apa yang dibangun ketika para pembunuh menang, berkuasa, memerintah, serta memimpin masyarakat. Mereka disanjung sebagai pahlawan, jadi tokoh masyarakat dan panutan, serta ditakuti sekaligus dihormati sebagai pelindung bangsa dari sebuah teror berupa fantasi yang mereka ciptakan sendiri. Anwar dan filmnya hanyalah simbol dari seluruh peristiwa kekerasan yang dialami orang Indonesia sejak 1965.
Di film itu Anwar berakting memerankan dirinya.
Membunuh, bagi Anwar, adalah sebuah akting. Ketika dia berdansa cha-cha di lantai atas bekas kantornya, hal itu kelihatannya menjadi simbol impunitas yang dinikmatinya. Dia menari di tempat ratusan orang yang dibunuhnya sendiri. Anwar kepada saya menjelaskan bahwa ia belajar dansa karena ingin melupakan apa yang terjadi.
Apakah Anda, Anwar, dan Adi sudah mendiskusikan semua risiko dari pembuatan film ini?
Perbincangan mengenai risiko film ini muncul dan bahkan terekam dalam film. Ketika Adi Zulkadry (jagal, sahabat Anwar) mengatakan, jika film ini sukses, pandangan masyarakat akan berbalik, bukan hanya 180 derajat, melainkan 360 derajat mengenai siapa yang lebih kejam, PKI atau lawan PKI. Mereka tahu risiko terburuk apa yang mungkin muncul dari film ini. Mereka tidak merasa ada yang salah jika publik menilai bahwa mereka lebih kejam daripada PKI.
Wawancara selengkapnya lihat di majalah Tempo edisi 1 Oktober 2012.
TIM TEMPO
Baca juga:
Edisi Khusus Film Pengkhianatan G 30 S/PKI
G30S, Soekarno Bersembunyi di Halim dan Bogor
Cerita Anak Jenderal D.I. Panjaitan Soal G30S/PKI
Film Pengkhianatan G30S/PKI, Propaganda Berhasilkah?
Saat G30S, Bung Karno Teradang Kepungan Tentara
Kekuatan Film Pengkhianatan G30S/PKI Luar Biasa