TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti ekonomi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam menyatakan turunnya inflasi menjadi 0,01 persen pada September bukanlah suatu prestasi yang patut dibanggakan oleh pemerintah.
"September inflasi rendah itu biasa dalam 10 tahun terakhir ini, bahkan di tahun-tahun sebelumnya bisa sampai deflasi," ujar Latif ketika dihubungi, Senin, 1 Oktober 2012.
Turunnya inflasi pada bulan September dapat diprediksi karena terdapat tiga faktor yang dapat dikendalikan pada bulan tersebut. Pertama, permintaan pangan. Pada September permintaan pangan tidak setinggi bulan-bulan sebelumnya yang kebetulan juga masuk masa Ramadan dan Lebaran di mana kebutuhan akan pangan melonjak dari biasanya.
Kebutuhan pangan pada September juga kembali normal karena pasokan pada bulan tersebut berlimpah seiring masuknya musim panen gadu, musim panen di antara dua panen raya, yang berkontribusi hingga 30 persen dari total produksi. Permintaan rendah dan pasokan yang tinggi ini akan membuat harga pangan turun, terutama beras.
"Jika harga beras turun, ini akan menarik harga pangan lainnya untuk turun. Sebab, beras adalah komoditas utama," kata dia. Faktor lain, misalnya transportasi dan distribusi yang selama September tidak mengalami hambatan. Tidak seperti bulan sebelumnya yang berbenturan dengan masa mudik sehingga transportasi tidak begitu lancar.
Faktor lain yang berkontribusi dalam inflasi adalah turunnya harga minyak mentah hingga sebesar US$ 5 per barel dari bulan sebelumnya. Hal ini mengakibatkan nilai impor bahan bakar minyak tidak setinggi bulan Agustus dan Juli lalu.
Meskipun inflasi September turun, Latif meminta pemerintah tetap waspada terhadap tiga hal lain yang mampu memicu inflasi lebih tinggi, yakni apresiasi dan depresiasi rupiah, tekanan fiskal, serta faktor musiman yang bisa mendongkrak permintaan, seperti Natal dan tahun baru.
GUSTIDHA BUDIARTIE