TEMPO.CO, Jakarta - Peningkatan ekspor dan penurunan impor di bulan Juli lalu memberikan harapan bahwa defisit neraca berjalan Indonesia akan menyempit. Terapresiasinya dolar Amerika Serikat membuat harga barang impor menjadi lebih mahal bagi para importir, sehingga permintaan impor juga mulai menurun.
“Bila defisit neraca berjalan berkurang, rupiah berpeluang menguat hingga ke kisaran 9.300-9.400 per dolar Amerika Serikat,” kata Rully Nova, pengamat pasar uang dari Bank Himpunan Saudara. Dalam dua bulan terakhir sentimen defisit neraca perdagangan menjadi salah satu penghambat laju apresiasi rupiah.
Selain masalah kawasan Eropa yang masih diwarnai ketidakpastian penyelesaian krisis utang, pelemahan rupiah juga disebabkan oleh melebarnya neraca perdagangan Indonesia hingga semester pertama tahun ini. “Sebab, penurunan ekspor membuat pasokan dolar AS di pasar domestik agak berkurang. Sedangkan permintaan dolar Amerika justru meningkat seiring dengan naiknya kebutuhan impor,” Ruli menuturkan.
Memasuki awal bulan, permintaan dolar AS dari korporat akan menurun dan kekhawatiran dari zona Eropa juga mulai meredup, sehingga membuka ruang bagi rupiah untuk melanjutkan penguatan.
Dalam sepekan kemarin, tekanan rupiah cukup tinggi. Besarnya permintaan dolar AS untuk membiayai impor ataupun utang yang jatuh tempo pada akhir triwulan ketiga membuat mata uang lokal sempat menyentuh level 9.600 per dolar AS.
Akan dirilisnya data inflasi dan data ekonomi Indonesia lainnya dari Badan Pusat Statistik akan menjadi perhatian investor pada awal bulan ini. Bila laju inflasi di bulan September kemarin lebih rendah dari bulan sebelumnya, dan ekspor juga mulai tumbuh, hal itu membuka peluang bagi rupiah untuk melanjutkan penguatan.
Pekan lalu rupiah terkoreksi tipis 16 poin (0,17 persen) ke level 9.570 per dolar AS. Sedangkan di triwulan kemarin rupiah melemah 137 poin (1,45 persen).
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR