TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Nazaruddin tetap bersikukuh bahwa koleganya, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustofa, terlibat dalam proyek pembangkit listrik tenaga surya di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2008. Proyek ini terbukti telah dikorupsi, sesuai putusan pengadilan.
Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat tersebut mengatakan Saan ikut dalam pertemuan untuk membahas proyek itu bersama Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, dan mantan Menteri Tenaga Kerja Erman Suparno. Bahkan Saan menyerahkan US$ 50 ribu kepada Erman agar mendapatkan proyek itu.
"Ada kuitansi yang diambil Saan di perusahaan, langsung duitnya diserahkan ke Erman Suparno," kata Nazar saat memasuki kantor KPK, Rabu, 3 Oktober 2012. Menurut Nazar, pertemuan pada malam hari itu diatur oleh Anas. Meski demikian, "yang mengatur proyek PLTS itu Mas Saan."
Adapun Saan membantah semua tuduhan Nazar. Dia mengaku tidak mengenal Erman. "Saya tidak pernah ikut pertemuan tersebut," kata Saan. Pekan lalu, KPK sudah memeriksa Saan dalam kasus korupsi PLTS tersebut.
Komisi antirasuah menetapkan Neneng Sri Wahyuni, istri Nazaruddin, sebagai tersangka dalam kasus korupsi listrik ini. Pejabat pembuat komitmen, Timas Ginting, juga sudah dipidana 3 tahun penjara.
Proyek listrik berbiaya Rp 8,9 miliar itu dikerjakan oleh PT Alfindo Nuratama Perkasa, perusahaan pinjaman PT Anugrah Nusantara milik Nazaruddin. Lalu, Alfindo mensubkontrakkan pengerjaan proyek kepada PT Sundaya Indonesia dengan kontrak Rp 5 miliar. Subkontrak ini menimbulkan kerugian negara Rp 2,2 miliar.
Nazaruddin kembali diperiksa hari ini. Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Priharsa Nugraha, mengatakan Nazar diperiksa karena penyidik masih membutuhkan keterangannya. Penyidik juga memeriksa Neneng. Namun, Priharsa mengatakan penyidik bukan bermaksud mengkonfrontasi keterangan Nazar dan Neneng.
RUSMAN PARAQBUEQ
Berita populer:
Ayah Alawi Belum Maafkan Fitrah
Ini Utang-utang BUMI
Besok, 2 Juta Buruh Mogok Kerja
Bos Bumi Emosi Waktu Curhat Konflik Perusahaan
Pemerintah Siapkan ''Pengganjal'' Jokowi