TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Pemantau Pengadaan (KMPP) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Timur Pradopo, dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan simulator surat izin mengemudi oleh Korps Lalu Lintas. Pasalnya, tugas Jenderal Timur tidak berakhir usai penandatanganan proyek, melainkan hingga mekanisme kinerja dan pengawasan.
”KPK harus minta keterangan Kapolri sebagai penanggung jawab pengadaan barang dan jasa di insitusinya,” kata koordinator Program Transparency Indonesia, Ibrahim Fahmy Badoh saat dihubungi Tempo, Rabu, 3 Oktober 2012.
Korps Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian RI pada 2011 lalu melakukan proses tender atas proyek pengadaan simulator mengemudi. Pada proses pengadaan barang dan jasa ini, sejumlah petinggi kepolisian terlibat dalam organisasi pengadaan barang dan jasa.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo sebagai pengguna anggaran, Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai kuasa pengguna anggaran, Waka Korlantas Brigadir Jenderal Didik Purnomo sebagai pejabat pembuat komitmen, Ajun Komisaris Besar Teddy Rusmawan sebagai pejabat pengadaan, dan Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi Budi Santoso sebagai penyedia jasa. Sejumlah pihak diduga menerima suap atas megaproyek kepolisian ini.
KMPP yang terdiri dari lembaga pegiat antikorupsi, seperti Indonesia Budget Center, Masyarakat Transparansi Indonesia, YAPPIKA, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Indonesia Legal Rountable, dan Kemitraan saat ini fokus mengkaji organisasi pengadaan barang dan jasa dalam proyek simulator mengemudi tersebut. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2012 tentang pengadaan barang dan jasa, organisasi pengadaan barang dan jasa di antaranya terdiri dari pengguna anggaran, kuasa pengguna anggaran, pejabat pembuat komitmen, pejabat pengadaan, dan penyedia jasa. ”Mekanisme ini yang selama ini kami tidak tahu proses kerja dan pengawasannya dalam proyek pengadaan simulator SIM,” ujar Fahmy.
Dalam kajian ini, Fahmy menilai kewajiban pengguna anggaran haruslah dari awal hingga akhir. ”Tidak ada dasar hukumnya jika hanya tanda tangan lalu tidak bertanggung jawab. Kapolri dalam konteks pengawasan juga terlibat,” ujarnya. Menurut dia, justru Kapolri merupakan pemegang otoritas anggaran dari sebuah proyek. Ihwal awal mula perencanaan proyek ini, kata Fahmy, harus dibuka. Ini mempertanyakan benarkah memang ada kebutuhan umum atau program internal yang diam-diam memang mengarahkan kepada pihak tertentu.
Pekan lalu, Kepolisian RI membantah surat keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia bernomor Kep/193/IV/2011 tertanggal 8 April 2011 menjadi dasar penetapan PT Citra Mandiri Metalindo sebagai pemenang tender proyek simulator SIM. Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarkat Markas Besar Polri, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, tanda tangan Kapolri merupakan pemenuhan prosedur administrasi atas proyek di atas senilai Rp 100 miliar. Surat tersebut juga bukan untuk memenangkan PT Citra Mandiri Metalindo Abadi sebagai pemenang tender.
Surat keputusan Kapolri ini diduga menjadi salah satu sebab Polri bersikukuh untuk menangani kasus korupsi simulator SIM. Bahkan, Polri terus berpolemik dengan KPK sejak penetapan tersangka, penyitaan barang bukti, pemeriksaan saksi, hingga penarikan penyidik. Namun, KPK sudah lebih dulu menetapkan Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka bersama tiga tersangka lain, yaitu Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Bambang, Didik Purnomo, dan Budi Susanto. Akan tetapi, pada 1 Agustus 2012, Polri secara tiba-tiba menetapkan lima tersangka, yaitu Didik Purnomo, Teddy Rusmawan, Legimo, Budi Susanto, dan Sukotjo Bambang.
AYU PRIMA SANDI
Berita lain:
Pemerintah Siapkan ''Pengganjal'' Jokowi
Jokowi Tidak Akan Ambil Gaji Gubernur DKI?
Bos Bumi Emosi Waktu Curhat Konflik Perusahaan
Di Jakarta, Besok Buruh Demo di 13 Titik
Jokowi Puji Fauzi Bowo Sebagai Kesatria
Sakit Hati, Foto Bugil Kekasih Disebar ke Facebook