TEMPO.CO, Yogyakarta- “Oe…oe… oe…, rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas, Wong cilik dibabat amblas, dening panguwasa laknat!”
Suara perempuan berbaju hitam dengan topi ala gipsi itu terdengar berat. Namun, dari suaranya tersirat kelugasan saat ia membaca gurit berjudul Panguwasa di hadapan sekitar 50 penonton.
Ary Nurdiana, perempuan asal Ponorogo, Jawa Timur, sengaja melawat ke Yogya untuk mengikuti pertemuan para penggurit atau penulis puisi Jawa yang diselenggarakan Rumah Budaya Tembi, Senin malam, 1 Oktober 2012. Acara bertajuk “Membaca Geguritan, Membaca Jawa” itu diikuti 16 penggurit, termasuk Ary.
Malam itu Ary yang juga Kepala Sekolah Dasar Negeri Mangunsuman, Ponorogo, merangkai ulang solidaritas, membangun tradisi geguritan yang hampir hilang. “Geguritan boleh tidak populer sekarang, tapi tidak boleh hilang,” kata Ary yang pernah membukukan karyanya menjadi dua buku, Intan Ora Mlebu dan Puber Kedua.
Dia mengakui upaya membangun kembali tradisi geguritan saat ini tidak mudah. Perempuan yang masih aktif di komunitas sastra Jawa di Jawa Timur, Tri Widha, itu mengatakan kebetulan dia mengenal sastra Jawa, khususnya roman, saat masih SMP. “Saya sebenarnya tak mahir bahasa Jawa halus, tapi bahasa Jawa modern, gaul. Dan saya pakai bahasa keseharian itu untuk menulis,” katanya.
Dari karya itu, dia mendapat surat dari penulis legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, yang dikirim langsung dari pengasingan di Pulau Buru, ke redaksi Jayabaya. “Pram bilang, saya bukan lagi penulis daerah. Saya diminta terus menulis roman lain dengan bahasa yang saya sukai,” kata Ary mengenang. Surat Pram itu menjadi lecutan untuk berkarya hingga sekarang.
Pertunjukan yang dirangkai dalam program Sastra Bulan Purnama di Rumah Budaya Tembi itu juga menampilkan pengusaha Tionghoa kawakan, Handoyo Wibowo alias Koh Wat, yang membawakan tiga geguritan, Ca Tuk Lan (Kanca Entuk Neng Ndalan), Gusti (Ra Gusis Le Anggemati), dan Mbok e (Tombok oleh Katresnane). “Saya sebenarnya dari Teknik Kimia UGM, tapi saya kadung mencintai satra Jawa yang ayem, puitis, penuh makna,” kata pria yang senang membaca serat Joyoboyo karya Ronggowarsito itu.
Koordinator Sastra Bulan Purnama, Ons Untoro, mengatakan kegiatan itu untuk memberi ruang pada karya geguritan. Terutama saat karya ini masih bisa ditemui. Menurut Ons, saat ini hanya ada satu majalah berbahasa Jawa di Yogyakarta yang masih setia menampilkan geguritan. Dari pertemuan itu akan didokumentasikan karya peserta. “Menjadi buku kecil, agar tercatat,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO
Berita lain:
Nyai Ontosoroh di Mata Happy Salma
SIPA 2012, The Heliosphere, Menari di Awang-awang
Nyanyian Alam Tampil di SIPA 2012
Bibit Waluyo Akan Pentaskan Jathilan
Ada ''Made In Indonesia'' di Negeri Obama