TEMPO.CO, New York - Harga minyak berjangka pada perdagangan Rabu berakhir pada level terendahnya sejak akhir Agustus karena investor cemas terhadap prospek permintaan dan mengabaikan laporan mingguan yang sebagian besar positif serta turunnya persediaan.
Harga komoditas minyak mentah jenis Light Sweet untuk pengiriman bulan November anjlok US$ 3,75 (4,1 persen) dan ditutup di US$ 88,14 per barel di New York Merchantile Exchange. Ini merupakan penurunan terbesar dalam persen sejak Desember tahun lalu.
Di pasar Asia pagi ini harga minyak berhasil menguat tipis 13 sen (0,15 persen) menjadi US$ 88,25 per barel.
Para pemodal mulai melihat laporan dari Energy Information Administration (EIA), dimana Bill O’Neill, dari Logic Advisor di New Jersey yang mengatakan bahwa orang – orang telah begitu fokus pada peristiwa geopolitikal, dan hukum penawaran dan permintaan tidak berlaku. “Padahal prospek permintaan belum membaik,” ucapnya.
Bahkan laporan Rabu kemarin yang mengalami penurunan dianggap masih mengindikasikan berlimpahnya pasokan minyak di pasar berlimpah, apalagi data sektor jasa Cina melambat membuat permintaan akan minyak kembali dipertanyakan.
Data dari EIA menyatakan bahwa cadangan minyak mentah turun 500 ribu barel untuk pekan yang berakhir 28 September lalu, sedangkan analis yang di survei Platts memperkirakan mengalami kenaikan 1,5 juta barel.
Produksi minyak 12 persen di atas tingkat tahun lalu dan merupakan produksi terginggi sejak 1996, karena sebagian besar karena meningkatnya produksi minyak di Alaska, menurut catatan analis dari BNP Paribas. “Ini merupakan prospek yang bagus bagi produksi minyak sehingga meredam kenaikan harga minyak,” tuturnya.
EIA melaporkan untuk cadangan bensin naik 100 ribu barel, sedangkan persedian dalam bentuk sulingan turun 3,7 juta barel. Sementara analis memprediksikan bahwa stock bensin tidak berubah, dan cadangan untuk bahan sulingan turun 400 ribu barel dalam seminggu. Harga minyak sepertinya mengabaikan data ekonomi yang dirilis cukup positif.
MARKETWATCH / VIVA B. K