TEMPO.CO, Yogyakarta- Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta berharap, setelah pelantikan, Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX menjadikan Yogyakarta punya keistimewaan dalam upaya pemberantasan korupsi.
"Harus ada jaminan dari Gubernur bahwa pengusutan kasus korupsi yang melibatkan pejabat lokal maupun eks pejabat tidak dipersulit," kata peneliti Pukat UGM Hifdzil Alim, Selasa 8 Oktober 2012.
Hifdzil mencontohkan ada kasus yang sudah dilaporkan oleh masyarakat ke kejaksaan, ada pula kasus yang diberitakan media sudah masuk kategori dugaan korupsi. "Tapi sampai sekarang tidak ditindaklanjuti. Maka, selepas pelantikan ini, Gubernur mestinya menginstruksikan transparansi itu," kata Hifdzil. "Apa artinya Yogyakarta istimewa kalau kasus korupsi dibiarkan tidak diselesaikan. Sekali Sultan mengeluarkan perintah, mestinya semua bisa diatasi," ujarnya.
Direktur Indonesian Court Monitoring Yogyakarta Tri Wahyu berharap Sultan membuka ruang partisipasi publik untuk menyampaikan kritik dan pendapat. "Termasuk mengkritisi kinerja pemerintah agar lebih baik, transparan, dan bersih," kata Tri Wahyu.
Selain itu, ia berharap agar UU Keistimewaan DIY juga mencakup kesiapan pemerintah DIY dan kabupaten/kota untuk menerima suara masyarakat. “Artinya, ada UU Keistimewaan berarti juga ada perlindungan hak-hak demokrasi rakyat sebagaimana yang diatur dalam konstitusi," kata Tri Wahyu.