TEMPO.CO, Jakarta - Cerpenis Lily Yulianti Farid meluncurkan kumpulan cerpen terbarunya: Ayahmu Bulan, Engkau Matahari. Dalam buku yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama ini, terdapat 17 cerita pendek yang ditulis dalam rentang waktu lima tahun, yakni selama 2004–2009.
“Kalimat-kalimat di dalamnya penuh dengan metafora kekerasan,” kata sastrawan Sapardi Djoko Damono dalam acara peluncuran buku di kafe BridCage, Kebayoran Baru, Jakarta, Selasa, 9 Oktober 2012.
Misalnya, Sapardi menunjuk kalimat pembuka dalam salah satu cerpen, “Ketika engkau lahir, malam bagaikan meledak.” Bagi Sapardi, kalimat ini penuh dengan imajinasi kekerasan. “Padahal, ingin bercerita tentang bayi yang lahir,” katanya.
Dengan gaya bertutur itu, kata Sapardi, Lily menjadikan kekerasan bersifat relatif. Sapardi mengaitkan asal Lily, yaitu Makassar, yang selama ini dikesankan sebagai kota yang penuh dengan kekerasan.
Sapardi mengatakan Lily mampu menciptakan metafora yang luar biasa dalam kalimat-kalimatnya. Menurut dia, perbandingan yang diciptakan Lily sering kali aneh dan tidak terbayangkan. “Metafora sangat kuat,” katanya.
Cerita-cerita yang terkumpul dalam buku ini sudah muncul dalam tiga buku Lily sebelumnya, yakni Makkunrai (2008), Maiasaura (2008), dan Family Room (2010). Dalam Ayahmu Bulan, Engkau Matahari ini, Lily menambahkan sejumlah cerita yang belum pernah ia publikasikan, serta cerita-cerita yang terbit dalam bahasa Inggris yang belum pernah diterbitkan dalam bahasa Indonesia.
Lily ingin cerita-cerita yang yang ia tulis dibaca secara serius. Dia mengakui bahwa cerita-cerita yang ia tulis terkesan seenaknya. “Tapi antara seenaknya, lincah, dan tanpa beban itu batasnya tipis,” katanya.
Adapun John H. McGlynn mengatakan Lily mampu mengemas ceritanya dengan baik tanpa menggurui. “Lily adalah generasi muda Indonesia yang harus didengar di dalam dan di luar negeri,” kata John dari Yayasan Lontar yang sekaligus menerjemahkan cerpen-cerpen Lily ke dalam bahasa Inggris.
Lily selama ini bekerja sebagai wartawan antara lain di harian Kompas, radio Jepang NHK, dan terakhir berlabuh di radio Australia. "Pekerjaan wartawan memaksa saya harus membuat kalimat yang pendek-pendek," katanya.
IQBAL MUHTAROM
Berita terpopuler lainnya:
10 Alasan Mengapa Desktop PC Belum Punah
Tewas Setelah Makan Kecoa
Anas Dinilai Tak Terlibat Korupsi PLTS
Polri Siap Berikan Berkas Simulator SIM ke KPK
Pilkada Jabar, Gerindra Calonkan Teten Masduki?