TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang peringatan 10 tahun Bom Bali I, di Kuta, Bali, 12 Oktober 2012, ancaman terorisme tetap harus diwaspadai. Menurut Kepala dan CEO The Soufan Group, Ali Soufan, penyelesaian masalah terorisme tidak hanya berfokus pada penegakan hukum.
Sebab, kata dia, terorisme bukan masalah yang bisa diselesaikan hanya dengan langkah-langkah hukum.“Terorisme itu masalah yang kompleks,” kata Ali Soufan, seusai menjadi pembicara dalam diskusi terbatas bertema “National Security Conversation” yang diselenggarakan Yayasan Prasasti Perdamaian, di Jakarta, Kamis, 11 Oktober 2012. Prasasti Perdamaian adalah lembaga nirlaba yang banyak melakukan riset dan disengagement (memutus mata rantai terorisme) di Indonesia.
Ali Soufan, 41 tahun, adalah mantan agen The Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika. Soufan kelahiran Libanon dan menjadi warga negara Amerika. Semasa bekerja di FBI, dia banyak terlibat dalam investigasi kasus teroris kelas kakap di Amerika dan di berbagai belahan dunia. Dia mundur dari FBI pada 2005 dan mendirikan perusahaan konsultan keamanan, Soufan Group. Kliennya adalah pemerintah, perusahaan, dan lembaga di berbagai negara. Tahun lalu dia menulis buku berjudul The Black Banners: The Inside Story of 9/11 and the War Against al-Qaeda.
Menurut Soufan, terorisme berbeda dengan tindak kriminal lainnya. Terorisme, kata dia, terjadi karena ada banyak variabel yang berkaitan, seperti ideologi takfiri dan jihadi, jaringan, komunitas, fatwa, training, organisasi, dan doktrinasi.
Di era ini, menurut dia, Internet juga bisa menjadi media untuk menyebarkan ideologi terorisme dan merekrut para calon teroris. Ini ditandai dengan munculnya berbagai situs jihadi yang menyebarkan ideologi jihad. “Penyebaran lewat Internet itu murah dan sangat mudah. Memang tak langsung menjadi teroris, tapi bisa menjadi jalan untuk brainwash (cuci otak),” katanya.
Karena itu, dia menyarankan pemerintah Indonesia agar belajar dari pemerintah Singapura dalam memberantas terorisme. Di sana, kata dia, upaya pencegahan, penindakan, proses hukum, sampai narapidana terorisme kembali ke masyarakat dikawal dengan serius oleh pemerintah. Tak hanya melibatkan penegak hukum, melainkan juga lembaga pendidikan, lembaga agama, dan lembaga lainnya untuk mencegah penyebaran terorisme. Penangangan terorisme di Singapura dilakukan secara menyeluruh. “Dalam menangani terorisme perlu langkah-langkah yang komprehensif,” katanya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, mengatakan dalam menangkap teroris, Datasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) sudah banyak pihak yang mengakui kehebatannya. Sejak dibentuk pada 2004, Densus 88 telah menangkap sekitar 700 orang yang terlibat terorisme. Selain yang ditembak mati, para tersangka diajukan ke pengadilan dan kini mendekam di penjara. “Tapi pelaku teror baru juga terus bermunculan dan kelompoknya lebih kecil,” kata dia.
Menurut Huda, salah satu masalah besar dalam penanganan para terpidana terorisme di Indonesia adalah mencampurkan tahanan terorisme dengan tahanan kriminal lainnya. Padahal, kata dia, dalam dunia terorisme ada “kasta-kasta” tersendiri dalam jaringan terorisme, seperti ideolog, organisatoris, dan pengikut (follower). Masing-masing kasta tersebut memiliki kemampuan dan kapasitas yang berbeda-beda. “Kalau para terpidana yang kelasnya ideolog atau organisatoris dicampur dengan tahanan kriminal lainnya, mereka bisa merekrut calon teroris baru,” kata Huda. Dia sependapat dengan Soufan bahwa penanganan terorisme harus komprehensif.
NURHASIM