TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, menilai bahwa fenomena perampasan tanah (land grabbing) untuk mengatasi kriris pangan melalui kebijakan Bank Dunia yang mendukung pola pertanian terpadu skala besar (food estate) akan merugikan petani, terutama petani gurem.
“Seharusnya pemerintah memberikan lahan pertanian kepada petani, terutama petani gurem,” ujar Khudori ketika dihubungi Tempo, Minggu, 14 Oktober 2012.
Menurut dia, praktek land grabbing sudah lama dilakukan dan tidak mengejutkan, terutama sejak Eropa dan Amerika Serikat mengalami krisis ekonomi. Komoditas pangan kemudian dijadikan investasi baru. “Investasi pangan menjadi menarik karena tidak ada lagi harga pangan yang murah. Inilah yang menarik bagi investor,” katanya.
Khudori lalu menjelaskan soal tiga faktor yang setidaknya menyebabkan krisis pangan. “Pertama, kegagalan panen yang menimpa negara-negara eksportir di dunia karena perubahan iklim atau serangan hama dan sebagainya, seperti yang menimpa negara-negara eksportir dunia. Misalnya gagal panen kedelai yang baru terjadi di Amerika. Kedua, krisis energi yang disebabkan oleh komoditas pangan penghasil energi alternatif, misalnya jagung penghasil bioetanol yang mengalami kenaikan harga. Ketiga, spekulasi di pasar komoditas,” tuturnya.
Khudori mengimbau pemerintah agar membuat aturan dan kebijakan yang benar-benar melindungi petani terkait dengan kepemilikan lahan. “Sayangnya, jika kita melihat pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, tidak dibedakan antara pihak asing dan domestik,” katanya.
Menurut dia, dalam kondisi krisis pangan, beberapa harga komoditas pangan untuk ekspor cenderung menurun, seperti yang terjadi di Indonesia--yaitu minyak sawit mentah (CPO), kopi, kakao, teh, dan sejenisnya.
FIONA PUTRI HASYIM