TEMPO.CO, Cirebon - Di Cirebon, banyak terdapat situs peziarahan Islam. Satu di antaranya adalah makam Sunan Gunung Jati. Imam, 35 tahun, dan rombongannya yang berasal dari Kediri, Jawa Timur, menyambangi makam Sunan Gunung Jati pada hari ketiga dari empat hari wisata ziarahnya.
Sunan Gunung Jati (1478-1568), atau Syarif Hidayatullah, yang mereka ziarahi, merupakan wali paling berpengaruh dalam pengislaman Jawa wilayah bagian barat. Ia juga pendiri dan raja pertama Kasultanan Cirebon.
Kompleks makam seluas 5 hektare yang telah berusia lebih dari enam abad itu terdiri dari sembilan tingkat pintu utama, yakni pintu Lawang Gapura di tingkatan pertama, pintu Lawang Krapyak, Lawang Pasujudan, Lawang Gedhe, Lawang Jinem, Lawang Rararoga, Lawang Kaca, Lawang Bacem, dan Lawang Teratai di puncak kesembilan.
Wisatawan hanya diizinkan berkunjung sampai bangsal Pesambangan, di depan pintu Lawang Gedhe, di tingkatan pintu keempat. Sedangkan pintu kelima sampai kesembilan terkunci rapat, hanya sesekali dibuka khusus bagi anggota keluarga Kerajaan Cirebon, atau orang yang mendapat izin khusus dari Keraton Kasepuhan Cirebon, atau pada momen-momen tertentu seperti pada malam Jumat Kliwon, Maulud Nabi, Gerebeg Idul Fitri, dan Gerebeg Idul Adha.
Pada saat itu, pintu satu hingga pintu ketujuh dibuka untuk umum, tetapi pengunjung tetap dilarang menerobos sampai ke bangsal Teratai, tempat kuburan Sunan Gunung Jati beserta istri-istrinya bersemayam. Di kompleks ini, pengunjung dilarang memotret, apalagi mengambil video. “Itu sudah peraturan. Mesti ditaati,” ujar Pak Tawi, 54 tahun, pemandu wisata dan juru kunci makam, kepada Tempo.
Yang menarik, selain warga muslim, banyak juga warga Cina yang berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Di makam mereka berdoa, membakar hio, dan bersedekah uang kepada para pengemis di sekitar lokasi. “Salah satu istri Sunan Gunung Jati, bernama Ong Tien Nio, adalah putri kaisar Yung Lo dari Cina. Jadi, kehadiran warga Cina ke sini untuk menziarahi leluhur mereka juga,” kata Hasan, 70 tahun, bekel sepuh atau lurah juru kunci pemakaman Sunan Gunung Jati.
Para peziarah pribumi berdoa di depan pintu Lawang Gedhe, sementara peziarah Cina berdoa dan membakar dupa di bilik depan pintu Lawang Merdhu.
Setiap malam, kompleks makam ini juga ramai didatangi peziarah untuk berdoa, yang di dalam kosmologi Jawa, malam dipercayai merupakan waktu terbaik untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Di dalam kompleks juga terdapat Masjid Dog Jumeneng, atau Masjid Agung Sunan Gunung Jati, yang berkapasitas 3.000 orang.
Masjid ini dulu dibangun orang-orang Keling, yaitu orang-orang India Tamil, setelah mereka takluk dalam usaha penyerangan yang gagal terhadap kekuasaan Sunan Gunung Jati. Terdapat pula Paseban Besar, tempat menerima tamu; Paseban Soko, tempat musyawarah; dan Gedung Jimat, tempat penyimpanan guci-guci keramik kuno dari era Dinasti Ming, Cina, dan keramik-keramik gaya Eropa, terutama Belanda.
Tur ke Cirebon memang identik dengan wisata menziarahi situs-situs peninggalan Sunan Gunung Jati. Tak hanya kompleks makamnya di Gunung Sembung, tetapi juga berbagai situs peninggalannya yang tersebar di seantero Cirebon. Ini memang tak lepas dari sejarah Cirebon. (Baca selanjutnya: Doa, Dupa, dan Peziarahan Cirebon Bagian 3)
WAHYUANA| IVANSYAH
Berita lain:
16 Prioritas Kawasan Strategis Wisata
12 Kota yang Ramah Sepeda
Surabaya Akan Gelar Kongres Kota Pusaka
Keliling Pasar Lambocca, Menteri Gita Kekenyangan
Festival China Town Siap Digelar Hari Ini