TEMPO.CO , Jakarta:Elisa Sutanudjaja, Direktur Program Rujak Center for Urban Studies menyatakan ide kampung susun Gubernur DKI Joko Widodo dengan menggeser pemukiman warga bantaran kali selebar 20 meter dari bibir sungai berlawanan dengan peraturan nasional. "Apa dasar memundurkan 20 meter?" katanya kepada Tempo, Rabu 24 Oktober 2012.
Dia menyebut ada konsensus nasional bahwa 50 meter dari pinggir sungai harus steril dari pemukiman. "Peraturan itu ada dasarnya. Sungai Ciliwung kan menampung banjir dari Puncak," dia melanjutkan.
Suryono Herlambang, Ketua Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Tarumanegara mengaitkan ide ini dengan Rencana Dasar Tata Ruang DKI 2030 yang disahkan Desember nanti. Sebab, butuh konsolidasi lahan yang komplek untuk mewujudkannya. Jokowi dinilai belum benar-benar memahami muatan RDTR 2030. Itu dilihat dari masih adanya rencana mengesahkan RDTR pada Desember. Padahal RDTR ini, menurut Herlambang dan Elisa, belum mengakomodasi aspirasi warga.
"Area kampung susun bisa dicari dari konsolidasi lahan. Jadi harus diatur mulai dari RTDR, pemerintah alokasikan mana-mana saja yang punya potensi. Konsolidasi lahan berarti negosiasi dengan warga pemilik tanah sasaran."
Herlambang mencontohkan, dalam pencarian lahan, untuk kepentingan non-komersial, negosiasi dengan warga bisa lebih lunak. "Pak haji, pak haji yang punya tanah bisa dibantu dengan dana untuk membangun, dengan bunga murah."
Di luar tantangan itu, dia sebenarnya memahami konsep kampung susun Jokowi sebagai bentuk pendekatan baru yang baik bagi warga kampung. "Itu kampung vertikal, lebih seperti rusun tapi dengan pendekatan berbeda. Bawahnya bisa untuk usaha, jadi rumah vertikal dengan melihat cara hidup orang kampung. Orang kampung kan enggak bisa ekstrim langsung berubah. Jadi ada fase-fase seperti itu."
Menurutnya, dengan sedikit modifikasi, kebutuhan buat kampung susun cukup besar buat kalangan karyawan. "Di sekitar mall, para pekerjanya kan tinggal di rumah-rumah kontrakan. Itu sesuatu yang mirip (dengan kampung susun)."
Sehingga, kata dia, "Yang bisa dipindahkan enggak mesti harus di bantaran, tapi kampung vertikal itu bisa juga untuk antisipasi perumahan, kos, dan rumah petak di belakang bangunan-bangunan besar."
ATMI PERTIWI
Berita Terpopuler
Menyusul Jokowi, Pak Camat Buru-buru Naik Ojek
Pengamat Nilai Pelayanan Publik DKI Jakarta Buruk
Warga Kampung Pulo Enggan Direlokasi
Ratusan PKL Digusur dari Stasiun Duri
Novi Amilia Masih Sering Alami Halusinasi
5 Wilayah Layanan SIM Keliling di Jakarta Hari Ini
Penembakan di Cidodol, Ditemukan 2 Proyektil