TEMPO.CO, Jakarta - Sarapan pagi itu berlangsung tak seperti biasanya. Tak ada diskusi serius atau canda dari para penghuni Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta.
A.K. Gani, mahasiswa dari Minang, kehilangan obrolan segarnya. Ia biasanya rajin meledek Jusupadi Danuhadiningrat dari Yogyakarta. Guyonan A.K. Gani ini kemudian ditimpali Muhammad Yamin dengan celetukan yang memancing tawa Amir Sjarifuddin atau Abu Hanifah.
Tapi Ahad pagi itu, 28 Oktober 1928, hampir semua penghuni Indonesische Clubgebouw tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mereka justru tampak ingin segera beranjak dari meja makan.
“Mungkin karena mereka sibuk ikut kongres, mungkin pula karena hidangannya tak menarik. Maklum, kualitas makanan pada hari itu menurun,” ujar dr R. Soeharto dalam majalah Tempo edisi 2 November 2008 di artikel Secarik Kertas untuk Indonesia.
Yamin sendiri perlu segera merumuskan pikiran para pembicara Kongres Pemuda Indonesia II pada Sabtu, 27 Oktober 1928, di gedung Katholieke Jongelingen Bond, Waterloopplein, Lapangan Banteng, Jakarta. Maklum, ia menjabat sekretaris panitia kongres.
Dalam pertemuan itu, Yamin berpidato panjang lebar tentang “Persatuan dan Kebangsaan Indonesia”, termasuk tentang perlunya bahasa persatuan untuk menyatukan seluruh kelompok dan suku di Indonesia.
“Semua tegang karena Belanda terus mengawasi selama 24 jam,” kata R. Soeharto.
CHOIRUL
Berita Lain:
Alasan Alfred Simanjuntak Dahulukan Pemudi
Di Kamar Mandi, Lagu Bangun Pemudi Pemuda Tercipta
Alfred Simajuntak Diminta Gus Dur Gubah Himne PKB
Suara Alfred Simajuntak Masih Lantang dan Empuk
Alfred Simajuntak: Lagu itu Mengobarkan Semanga