TEMPO.CO, California - Lembaga penaksir risiko bencana asal Amerika Serikat, Eqecat Inc, memperkirakan kerugian ekonomi akibat badai Sandy mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 199 triliun. Kerugian diperkirakan semakin besar jika terjadi musibah susulan, seperti longsor atau banjir bandang.
Dalam pernyataannya kepada kantor berita CNN, Vice President Eqecat, Tom Larsen, menyatakan kerugian asuransi akibat musibah ini mencapai US$ 5 miliar hingga US$ 10 miliar. Menurut dia, perkiraan ini berdasarkan kerusakan pada properti residensial (perumahan), properti komersial (kantor dan tempat usaha), dan produksi energi.
"Selain itu, ada potensi kerugian akibat bisnis yang berhenti," kata dia, Selasa, 30 Oktober 2012.
Data yang dimiliki Eqecat menunjukkan kerugian akibat badai Sandy lebih besar jika dibandingkan dengan dampak ekonomi badai Irene pada 2011 yang mencapai US$ 4,3 miliar. Namun, angka ini kalah besar jika dibandingkan dengan kerugian asuransi badai Katrina yang mencapai US$ 45 miliar pada 2005. Selain menelan kerugian materi yang cukup besar, badai dengan kecepatan 125 mil per jam ini juga menyebabkan 1.800 orang meninggal dunia.
Sebelum Eqecat mengeluarkan perkiraan ini, para analis di bursa saham Wall Street menaksir kerugian akibat badai Sandy mencapai US$ 5 miliar. Menurut mereka, angka kerugian tersebut masih bisa ditanggulangi oleh pengusaha dan firma asuransi.
Analis Janney Montgomery Scott LLC, LArry Greenberg, mengatakan kerugian akibat badai Sandy bisa membengkak terutama karena ancaman banjir dan air pasang. Ketinggian air di kawasan pesisir bisa bertambah signifikan jika badai datang di saat bulan purnama.
Badai Sandy yang dijuluki Frankenstorm diprediksi akan menghantam negara bagian di Atlantik Tengah hingga New England. Dalam situs National Oceanic and Atmospheric Administration disebutkan, badai ini merupakan badai terbesar yang pernah menghantam Amerika Serikat.
FERY FIRMANSYAH