TEMPO.CO, Jakarta - Istri Muhammad Nazaruddin, Neneng Sri Wahyuni, hari ini, Kamis, 1 November 2012, menjalani sidang perdananya. Oleh jaksa, Neneng didakwa melawan hukum karena mengintervensi pejabat pembuat komitmen (PPK) dan panitia pengadaan proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
"Terdakwa Neneng Sri Wahyuni baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan Muhammad Nazaruddin, Marisi Matondang, Mindo Rosalina Manulang, Arifin Ahmad, dan Timas Ginting melakukan intervensi terhadap pejabat pembuat komitmen dan panitia pengadaan dalam penentuan pemenang lelang pada kegiatan pengadaan dan pemasangan pembangkit listrik tenaga surya," kata jaksa Ahmad Burhanudin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Perbuatan melanggar hukum ini juga disebabkan mereka mengalihkan pekerjaan dari pemenang, PT Alfindo Nuratama Perkasa, pada PT Sundaya Indonesia.
Neneng juga didakwa melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya Nazar atau PT Anugrah Nusantara sebesar Rp 2,2 miliar; pejabat pembuat komitmen, Timas; Direktur PSPK dan Ditjen P2MKT Depnakertrans Hardy Benry Simbolon; ketua panitia pengadaan, PLTS Sigit Mustofa Nurudin; anggota panitia pengadaan, Agus Suwahyono dan Sunarko; Direktur Alfindo, Arifin; dan Direktur PT Nuratindo Bangun Perkasa Karmin Rasman Robert Sinurat.
Jaksa menjelaskan, sekitar Juli 2008, Neneng bertemu Nazar, M. Nasir, M. Hasyim, Rosa, Marisi, dan Unang Sudrajat di kantor Anugrah. Di sana mereka membicarakan pengadaan dan pemasangan PLTS. Nazar kemudian memerintahkan Marisi dan Rosa untuk mencari informasi tentang proyek tersebut dan menghubungi pejabat Depnakertrans.
Sekitar Agustus 2008, mereka kembali bertemu di kantor Anugrah dan membahas pengumuman kegiatan proyek itu, yang memiliki anggaran sebanyak Rp 8,93 miliar. Nazar lalu menyuruh Marisi dan Rosa untuk ikut proyek itu dengan meminjam bendera PT Alfindo Nuratama Perkasa, PT Nuratindo Bangun Perkasa, PT Mahkota Negara, dan PT Taruna Bakti Perkasa. Neneng berjanji bakal memberikan fee sebesar Rp 0,5 persen pada perusahaan-perusahaan itu bila menang dalam proyek tersebut.
Marisi lalu menemui Direktur Alfindo, Arifin; lalu Direktur Nutadino, Karmin; dan Komisaris Taruna, Edward. Dia meminjam dokumen perusahaan untuk lelang dengan menjanjikan fee 0,5 persen. Marisi lalu memasukkan dokumen-dokumen itu ke panitia proyek.
Timas yang menjadi pejabat pembuat komitmen, meskipun tahu bahwa hasil evaluasi teknis dokumen-dokumen penawaran itu tidak memenuhi syarat, membiarkannya. Dia malah memerintahkan Agus dan Sunarko mengubah angka komponen pengujian Alfindo sehingga perusahaan tersebut ditetapkan sebagai pemenang.
Neneng lalu menyuruh Marisi untuk menyusun draf kontrak PLTS, yang kemudian diserahkan pada Timas. Timas lalu menandatangani surat perjanjian pelaksanaan pekerjaan pengadaan dan pemasangan PLTS sebesar Rp 8,741 miliar dengan Direktur Arifin. Pada 28 Oktober 2008, dilakukan adendum yang meliputi perubahan harga borongan menjadi Rp 8,918 miliar.
Neneng bersama Nazar, Marisi, dan Rosa pada sekitar September dan Oktober 2008 lalu melakukan beberapa kali pertemuan dengan Direktur Utama Sundaya, Rustini, dan staf marketing Sundaya, M. Arif Lubis. Mereka menyepakati seluruh pekerjaan utama proyek yang semestinya dilakukan oleh Alfindo dialihkan ke Sundaya. Timas yang mengetahui hal tersebut membiarkan saja dan tidak memutuskan kontrak.
Setelah Alfindo menerima duit proyek sebesar Rp 8,1 miliar, Neneng lalu meminta staf keuangan Anugrah, Yulianis, untuk membayar Sundaya sebesar Rp 5,274 miliar. Kemudian selebihnya diserahkan pada Direktur PSPK, Hardy, sebanyak Rp 5 juta dan US$ 10 ribu; ketua panitia, Sigit, Rp 20 juta dan US$ 1.000; dan anggota panitia, Agus Suwahyono dan Sunarko, masing-masing Rp 2,5 juta dan US$ 3.500. Lalu Direktur Arifin sebesar Rp 40 juta, Direktur Karmin Rp 2,5 juta, serta Timas sebesar Rp 77 juta dan US$ 2 ribu. Tindakan ini disebut merugikan negara sebanyak Rp 2,729 miliar.
Atas perbuatan itu, Neneng didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, dengan ancaman 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
NUR ALFIYAH