TEMPO.CO, Jakarta - Audit Badan Pemeriksa Keuangan atas proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Bukit Hambalang, Bogor, Jawa Barat, dinilai hanya audit di permukaan. Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menganggap metode audit investigatif yang dilakukan BPK tidak optimal.
“Perhitungan yang dilakukan BPK hanya cocok saat di masa perencanaan, bukan setelah atau saat proyek berjalan,” kata Koordinator Investigasi dan Advokasi Fitra, Uchok Sky Khadafi, Kamis, 1 November 2012.
Menurut Uchok, BPK menemukan kerugian negara dengan metode perbandingan harga berdasarkan dokumen tender dari pemenang tender, yakni PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya, dengan rekanan subkontraktor. Perbedaan harga antara keduanya inilah yang dianggap menjadi kerugian negara oleh BPK.
Menurut Uchok, seharusnya BPK menghitung kerugian dengan menghitung harga perkiraan sendiri (HPS) dan dibandingkan dengan harga di lapangan. “Metode ini yang dilakukan dalam audit BPK soal pengadaan fasilitas vaksin flu burung, sehingga penemuan korupsinya jadi lebih besar,” katanya.
Lewat metode yang hanya membandingkan antara pemenang tender dan subkontraktor, kasusnya tak akan cukup kuat bila dibawa ke pengadilan. “Akan mudah dilemahkan bahwa itu bukan korupsi,” kata Uchok. BPK menyerahkan hasil audit investigatif proyek Hambalang ke Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, 31 Oktober 2012. BPK menemukan indikasi kerugian keuangan negara sebesar Rp 243,660 miliar.
YULIAWATI