TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menyatakan pemerintah Papua Nugini kemungkinan membatalkan status kewarganegaraan Joko Soegiarto Tjandra. Informasi tersebut diterima Kejaksaan setelah berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia beberapa hari lalu.
Wakil Jaksa Agung, Darmono, mendapat kabar yang menyatakan bahwa pemerintah Papua Nugini mempertanyakan pemberian status kewarganegaraan kepada buron bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) itu.
"Artinya, kebijakan pemberian status warga negara oleh pemerintah Papua Nugini Nugini ini akan ditinjau kembali," kata Darmono saat ditemui di kantor Kejaksaan Agung, Jumat, 2 November 2012.
Menurut dia, kemungkinan pembatalan status kewarganegaraan Joko Tjandra terbuka lebar. Sehingga upaya pemulangan mantan bos Bank Bali ini dari negara tetangga semakin mudah.
Darmono mengaku sangat mengapresiasi keputusan pemerintah Papua Nugini. Menurut dia, pemerintah Papua Nugini seakan sudah membuka hati terhadap upaya pemulangan Joko Tjandra.
Sebab, sebelumnya, Papua Nugini tak juga menanggapi permohonan ekstradisi Joko Tjandra ke Indonesia. Papua Nugini selalu beralasan dalam masa transisi usai pemilihan kepala pemerintahan yang baru.
Saat ini, yang bisa dilakukan Kejaksaan hanya menunggu kepastian kesiapan Papua Nugini menerima kedatangan perwakilan Indonesia, yang akan membahas pemulangan Joko Tjandra. "Kami segera berangkat ke Papua Nugini," kata Darmono.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menyatakan Joko Tjandra resmi menjadi warga negara Papua Nugini sejak bulan Juni lalu. Kejaksaan pun menanggapi kabar itu dengan mengirim surat ke pemerintah Papua Nugini.
Berdasarkan penelusuran Tempo, Joko memiliki bisnis di bawah payung Naima Agro Industries Limited. Di perusahaan yang berlokasi di Bereina, sekitar 160 kilometer dari Port Moresby, itu, Joko menanamkan investasi US$ 2 miliar atau sekitar Rp 18 triliun.
Joko jadi buron dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali senilai Rp 904 miliar, yang ditangani Kejaksaan Agung. Pada 29 September 1999-Agustus 2000, Kejaksaan pernah menahan Joko.
Tapi hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatan itu bukan pidana, melainkan perdata. Pada Oktober 2008, Kejaksaan mengajukan peninjauan kembali kasus Joko ke Mahkamah Agung dan diterima.
Tapi, sebelum dijebloskan ke bui, Joko kabur dari Indonesia ke Port Moresby pada 10 Juni 2009, sehari sebelum MA mengeluarkan putusan perkaranya. Jika masih di Indonesia, Joko seharusnya dibui dua tahun dan membayar denda Rp 15 juta.
INDRA WIJAYA