TEMPO.CO , Kilis, Suriah - Berkemeja biru lengan panjang dengan dasi hitam terikat di kerah, lelaki botak yang berjaga di pos masuk kawasan Azaz, Suriah, mengamati sejenak paspor yang saya berikan, Ahad pekan lalu.
Kalashnikov yang tersandar di dekat kursinya sempat membuat saya gugup. Tak ada pertanyaan apapun, lelaki itu membubuhkan stempel bulat di paspor. “Anda boleh masuk Suriah,” katanya dalam bahasa Inggris.
Masuk perbatasan Suriah dari Kota Kilis, Provinsi Gaziantep, Turki, sebelah utara Suriah, ternyata cukup mudah. Bahkan tak seribet keluar-masuk Turki yang harus melalui tiga pos penjagaan. Jurnalis asal Belanda, Hans, bercerita dalam sepekan terakhir ia berkali-kali keluar masuk Suriah. “Mereka sampai hapal nama saya,” katanya.
Birokrasi bagai mati di utara Suriah. Mohammad, petugas media center di Azaz mengatakan sejak empat bulan lalu perbatasan terbuka untuk umum. Tentara Pembebas Suriah berhasil mengusir tentara pemerintah. Menurut Mohammad, saat perbatasan dikuasai tentara pemerintah, jangan harap bisa masuk kawasan Suriah. Pemerintah sangat ketat menyaring pendatang.
Jadilah kini, foto Presiden Bashar al-Assad dan bendera merah-putih-hitam dengan dua bintang hijau tak nampak lagi di kantor-kantor di kawasan perbatasan. Semua berganti dengan bendera bintang tiga milik Tentara Pembebas Suriah. Tak hanya di Kota Azaz, tapi juga di perbatasan lain seperti di Jarabulus, timur laut Suriah, maupun perbatasan dengan Provinsi Antakya, Turki. “Semua bebas masuk,” kata Mohammad.
Di sini, nyaris semua pria, kecuali pengungsi, membawa senjata. Utamanya, Kalashnikov, senapan laras panjang buatan Rusia. Di gerbang luar perbatasan, anjing German Sheperd atau Herder berjaga. Di antara tentara pejuang, anak-anak kecil tanpa rasa takut berlarian ke sana- ke mari. Beberapa di antaranya menjajakan rokok dan biskuit kemasan. Mereka adalah pengungsi yang tinggal di kemah-kemah di dekat perbatasan.
Mudah masuk perbatasan tak berarti mudah masuk ke dalam kota-kota di Suriah. Tentara pemberontak merazia semua kendaraan yang melintas. Sebagian jalan ditutup dengan batu besar atau perabotan rumah. Berani kabur dari razia, Kalashnikov di tangan mereka siap menyalak.
Saat mobil yang membawa Tempo mendekati pos pemeriksaan terakhir sebelum memasuki Kota Azaz, dua tentara pemberontak mendekat dan berbicara dengan sopir sekaligus penerjemah, Alaaeddin. Ia lalu memberikan secarik kertas dari media center yang menjadi kartu masuk Suriah.
Seorang di antaranya mendekat dan memandang Tempo dengan tajam. Saya tersenyum, lalu mengucap salam. “Assalamualaikum” pun berbalas disertai bonus senyum. “Ahlan wa sahlan,” katanya mengucap selamat datang. Kami bebas masuk ke dalam kota. Senyum dan salam memang mampu menghadirkan pertemanan.
PRAMONO (SURIAH)
Berita terpopuler lainnya:
Kafe Ini Tawarkan Sejam Tidur dengan Orang Asing
Bayi Jelek, Istri Digugat
Jalani 90 Operasi Demi Mirip Kekasih Barbie
Gajah Ini Fasih Berbahasa Korea