TEMPO.CO, Azas - Dingin menerkam kamp pengungsi Suriah di perbatasan Turki, Selasa malam lalu. Di dalam tenda kubah berukuran 3x3 meter, Mohammad Mustafa, 38 tahun, mencoba tidur bersama istri dan enam anaknya. Dua di antaranya masih balita.
Di tenda itu hanya ada tiga kasur sedang setebal bungkus rokok. Matras timah tak mampu menahan dingin lantai semen. Hanya ada dua selimut untuk mereka berdelapan, berimpitan. “Supaya tak terlalu dingin,” kata pengungsi asal Marea, kota kecil di dekat Azaz, yang sudah lebih dari dua bulan menempati tenda itu, kepada Tempo.
Tiga pekan terakhir, musim dingin memang sedang bertamu di sana. Meski sinar matahari menyilaukan mata, dingin masih terasa. Apalagi jika angin bertiup. Dingin kian menggigit.
Di kamp Azaz-Killis, ada sekitar 6.000 pengungsi dari kawasan utara Suriah. Mereka tinggal di sekitar 500 tenda yang tersebar di beberapa tempat. Pasukan Pembebasan Suriah menguasai kawasan itu.
Di sana, satu tenda hanya mendapat jatah dua selimut. Masalahnya, satu tenda bisa dihuni 10-15 orang. “Kami kekurangan selimut,” kata Ismail Alsnne, seorang koordinator pengungsi.
Pekan lalu, hujan mengguyur wilayah perbatasan Turki-Suriah. Kamp pengungsi di kawasan itu terendam air setinggi mata kaki. Sudah dingin, basah pula. Ditambah lagi, bekas makanan dan air kotor menimbulkan bau tak sedap.
Selain tenda yang seadanya, para pengungsi kekurangan pakaian bersih. Taufik Junaeed, pengungsi asal Miar, 40 kilometer dari perbatasan, sudah dua pekan terakhir tak berganti pakaian. Hanya singlet dan jaket hitam membalut tubuhnya. Celana jinsnya dekil. “Saya tak membawa apa-apa saat mengungsi. Rumah saya nyaris runtuh terkena bom,” kata Taufik.
Bekas pekerja di pabrik pengolahan kentang itu dua kali dirawat di klinik pengungsian karena badannya nyaris tak bisa bergerak akibat kedinginan.
Makanan pun menjadi persoalan. Dalam sehari, para pengungsi hanya mendapat dua kali jatah makan. Kadang rasanya hambar, “Kadang terlalu asin,” kata Azize Muhammad, pengungsi lainnya. Tempo melihat bagaimana, di satu pos pembagian makanan, lebih dari seratus bocah dan orang dewasa berebut jeruk dan roti yang dibagikan di sana.
Dengan segala kekurangan ini, mereka memilih bertahan di pengungsian. Mereka tak punya pilihan. “Di sini tak ada bom,” kata Ismail Alsnne. Dia bersedekap, menahan dingin.
PRAMONO
Berita Terpopuler:
Atut-Jokowi Bertemu, Wali Kota Tangerang: ''EGP''
Badan Kehormatan Minta Dahlan Cek Daya Ingatnya
Sebentar Lagi, Indonesia Kebanjiran Tank Leopard
Ahok Tertusuk Saat Naik Reog Ponorogo
Mabes Polri Tak Tahu Pengawal Ketua KPK Mundur