TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan Presiden Amerika Serikat sempat mendorong apresiasi rupiah hingga menyentuh di bawah level 9.600. Namun beralihnya fokus pasar terhadap masalah jurang fiskal AS membuat para pelaku kembali melepas mata uang yang dianggap berisiko, misalnya rupiah. Investor pun berbalik memburu dolar.
Amerika akan menghadapi tantangan pengurangan belanja dan kenaikan pajak senilai US$ 1,2 triliun mulai 1 Januari mendatang bila Kongres tidak menyetujui pengurangan defisit anggaran. Pada tahun fiskal 2012, jumlah defisit anggaran mencapai US$ 1,09 triliun.
“Rupiah pekan ini akan ditransaksikan di kisaran 9.590-9.650 per dolar AS,” kata pengamat pasar uang Lindawati Susanto. Faktor global masih akan mendominasi pergerakan rupiah.
Menyempitnya defisit transaksi berjalan Indonesia menjadi US$ 5,3 miliar pada triwulan ketiga tahun ini dibandingkan dengan triwulan sebelumnya sebesar US$ 7,7 miliar tetap membuka ruang bagi penguatan rupiah.
Masalah jurang fiskal Amerika dan kondisi di Eropa yang masih penuh ketidakpastian membuat dolar kembali diuntungkan. Ancaman resesi di Eropa serta turunnya surplus perdagangan Cina menjadi US$ 25,1 miliar dari sebelumnya US$ 31,7 miliar memicu apresiasi dolar. Melambatnya ekspor Cina kembali memunculkan kekhawatiran terhadap perekonomian global.
Tekanan rupiah hingga akhir tahun masih akan cukup tinggi. Nilai tukar dolar Amerika diperkirakan masih tetap perkasa. Permintaan dolar Amerika di pasar domestik membuat rupiah sulit menguat.
Pergerakan rupiah saat ini akan berada dalam kisaran 9.500-9.600 per dolar AS. “Sepertinya, 9.600 merupakan level baru bagi rupiah dan mungkin sulit menguat kembali hingga ke 9.300 per dolar AS,” kata Lindawati.
Nilai tukar rupiah pada Jumat lalu ditutup pada level 9.619 per dolar Amerika yang berarti hanya melemah tipis 3 poin (0,03 persen) dari posisi pekan sebelumnya di 9.616.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR