TEMPO.CO, Purwokerto - Peneliti Indonesia dan Prancis menemukan indikasi limbah berbahaya di Laguna Segara Anakan, Nusakambangan, Cilacap. Limbah berbahaya itu bahkan sudah mengendap di biota laut sehingga membahayakan jika dikonsumsi manusia. “Banyak biota laut yang di dalam tubuhnya mengandung hidrokarbon dan senyawa berbahaya lain,” kata Agung Dhamar Syakti, dosen Kelautan Fakultas Sains dan Teknik Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto setelah seminar tentang polusi lingkungan laut di Unsoed Purwokerto, Senin, 12 November 2012.
Segara Anakan merupakan muara sungai yang dilalui 11 kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Di laguna itu, kata dia, semua limbah masuk, baik limbah domestik berupa limbah rumah tangga (emerging pollutant), maupun limbah industri. “Akibat polutan itu, keanekaragaman hayati bisa terganggu,” kata Agung yang juga peneliti tamu di Universitas Aix Marseille, Prancis. Di Prancis, ditemukan ikan yang berubah jenis kelamin karena pengaruh emerging pollutant.
Agung bersama tim peneliti lain mengambil contoh bakteri di Laguna Segara Anakan. “Tim juga mengambil contoh kerang totok guna mengetahui kandungan limbah dalam spesies yang hidup di dalam lumpur Segara Anakan,” katanya.
Nuning Vita, kolega Agung di Unsoed, mengatakan bahwa Segara Anakan sudah sangat tercemar. “Sedimen di laguna terlihat kehitaman dan berbau seperti campuran minyak dan logam,” katanya. Dari 27 titik pengambilan sampel, ditemukan 16 senyawa berbahaya. Biasanya, senyawa berbahaya itu terdapat di lokasi sekitar industri. Menurut dia, dalam radius 25 kilometer dari tempat senyawa berbahaya itu, ikan dilarang dikonsumsi. “Akumulasi senyawa berbahaya di dalam tubuh ikan akan sangat berbahaya bagi manusia.”
Profesor Pierre Doumenq, ahli kimia lingkungan dari Universitas Paul Cezanne Aix Marseille, Prancis (UPCAM), mengatakan bahwa Segara Anakan merupakan tempat yang sangat eksotis dengan berbagai keanekaragaman hayati. Peneliti pencemaran minyak ini menyarankan agar perlu pengawasan terhadap lingkungan di sekitar kilang minyak di Indonesia. Sebab, banyak kasus limbah minyak yang tak langsung bisa terurai dengan hanya mengandalkan instalasi pengolahan limbah manual. “Saya lebih suka uang pembeli Aqua dipakai guna membangun instalasi limbah domestik,” kata dia.
Peneliti lainnya, Dr. Anne Piram, mengatakan Indonesia sudah harus membuat kebijakan pengolahan limbah domestik. “Saya melihat limbah rumah tangga langsung dibuang ke sungai, padahal itu akan sangat membahayakan,” katanya.
Yang menarik, di Segara Anakan juga ditemukan enam strain baru bakteri yang bisa mengurai limbah minyak dengan teknik bioremediasi. “Enam strain bakteri itu bisa mengisolasi limbah minyak,” kata Agung Dhamar Syakti. Menurut dia, teknik ini lebih murah dan ramah lingkungan. “Kami akan buat bakteri dalam kemasan guna mengurai limbah minyak dan limbah domestik lain.”
ARIS ANDRIANTO