TEMPO.CO, Jakarta - Ketergantungan masyarakat Papua pada beras dikhawatirkan akan menciptakan krisis pangan. Pasalnya selama ini, sebagian besar kebutuhan beras masyarakat Papua dikirim dari luar pulau. Karena itu, ubi jalar dinilai lebih potensial untuk menjadi bahan pangan pokok masyarakat di sana.
“Ubi jalar adalah bahan makanan utama orang Papua sejak dulu,” kata staf Oxfam, Kiloner Wenda, yang menulis buku berjudul ‘Ubi Jalar, si Manis Pemberi Kehidupan’ yang Rabu 14 November 2012 siang tadi, diluncurkan di Jakarta. “Kandungan gizinya tinggi, dan bisa dibudidayakan sendiri oleh orang Papua,” katanya.
Secara turun-temurun, ubi jalar dan daging babi telah menjadi makanan pokok dan simbol persatuan serta perdamaian adat di Papua. “Jika ada tamu, atau upacara bakar batu, keluarga dan suku di Papua menyediakan ubi dan babi,” katanya.
Masalahnya, belakangan ini tradisi itu berubah. Pada 2001, ketika Kiloner Wenda pulang dari studinya di Malang, Jawa Timur, keluarganya di Wamena, menyediakan nasi dalam upacara penyambutannya. “Kenapa tidak ubi jalar?” katanya bertanya-tanya. Dia menyaksikan perubahan ini tidak hanya dialami keluarganya, tapi banyak orang Papua lain.
“Makan beras dinilai lebih modern,” kata Kiloner. Lambat laun, ubi jalar diasosiasikan dengan kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. “Media juga ikut menyebarkan salah paham ini karena menulis orang Papua kelaparan karena hanya makan ubi, padahal ubi itulah makanan pokok kami,” katanya sambil tertawa.
Dalam bukunya, Kiloner merunut dampak sosial dari perubahan pola konsumsi pangan orang Papua dari ubi ke beras. “Di Papua, beras dibagikan lewat program beras untuk rumah tangga miskin (raskin) pemerintah. Kadang dibagikan juga uang untuk membeli sayur dan daging,” katanya.
Ketika beras sudah diterima sebagai bahan pokok, terjadi perubahan tata nilai soal uang dan nilai tukar. “Karena beras harus dibeli dengan uang, sayur juga dibeli dengan uang, semua jadi pakai uang” kata Kiloner. Padahal, sebelumnya, untuk makan, minum, bepergian, kata dia, orang Papua tak membutuhkan uang.
“Masyarakat Papua akhirnya membutuhkan uang untuk membeli makanan, sementara sumber uang tidak ada,” katanya prihatin. Akibatnya, banyak orang Papua terjebak kemiskinan, kriminalitas, bahkan prostitusi.
Lewat bukunya, Kiloner berharap bisa menyadarkan publik dan terutama pemerintah Papua, bahkan sumber pangan utama orang Papua sebaiknya berasal dari lahan-lahan pertanian dan perkebunan mereka sendiri. Salahsatu jenis pangan yang sudah lama diakrabi oleh masyarakat lokal di sana adalah ubi jalar.
Buku Kiloner sendiri diterbitkan oleh Oxfam dan ditulis dalam dua bahasa.
Manajer Advokasi Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, yang juga berbicara dalam peluncuran buku Kiloner, menilai sudah saatnya pemerintah lebih menghargai pangan lokal dalam upaya antisipasi krisis pangan nasional. “Aspek lokalitas ini harus dipertahankan, karena hidup mati suatu bangsa hanya bisa ditentukan oleh bangsa itu sendiri,” katanya.
WAHYU DHYATMIKA
Berita Terpopuler:
Kepala BPMigas Sedih Banyak Digugat Ormas Islam
Mahfud Tantang Sudi Silalahi
Wanita di Tengah Skandal Seks Direktur CIA
Ola Pernah Minta Bantuan Ayin
Skandal Seks Bos CIA Merembet ke Jenderal NATO