TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung dinilai melepas tanggung jawab penegakan hukum, setelah mengembalikan berkas penyelidikan pro justisia peristiwa jagal 1965/1966 dan Pembunuhan Misterius (Petrus).
"Ini modus dari pembekuan proses hukum pelanggaran hak asasi manusia berat," kata Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, saat dihubungi Tempo, Kamis, 15 November 2012.
Pada awal November lalu, Kejaksaan mengembalikan berkas kasus peristiwa 1965/1966 dan Petrus kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Padahal, Komnas HAM sudah menemukan cukup bukti permulaan untuk menduga telah terjadi sembilan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat. Kesimpulan itu diperoleh setelah tim Komnas HAM memintaketerangan 349 saksi hidup yakni korban, pelaku, juga saksi yang melihat secara langsung peristiwa tersebut.
Sembilan bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dalam kasus jagal 1965 dan Petrus adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa.
Keengganan Kejaksaan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, kata Haris Azhar, bukan sekali ini saja. Dia menunjuk penolakan Kejaksaan Agung menyelesaikan berkas penyelidikan Komnas HAM dalam kasus penembakan Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Sikap serupa ditunjukkan Kejaksaan dalam kasus penyidikan peristiwa Mei 1998, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1998, sampai kasus pelanggaran HAM di Wamena, Papua.
"Anehnya, Kejaksaan Agung tidak pernah mencari solusi atas semua berkas yang mereka bekukan ini," kata Haris.
MUHAMAD RIZKI
Berita Terpopuler:
Suami Ola Ditembak Mati di Depan Henri Yoso
Penangkapan Ola dan Suaminya Bak Film Hollywood
Di SD, Tak Ada lagi Pelajaran IPA-IPS
Malam 1 Sura, Keluarga Keraton Surakarta Ribut
Kini Jokowi Ditantang Benahi Sampah