TEMPO.CO, Jakarta - Bola panas ihwal penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) Jakarta 2013 sebesar Rp 2,2 juta masih terus bergulir. Pihak pengusaha selaku bagian dari unsur Dewan Pengupahan mengaku kecewa dengan penetapan UMP. Salah seorang anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengaku heran dengan sikap buruh yang semula berkeras menuntut UMP sebesar Rp 2,7 juta.
“Tiba-tiba, kok, dari buruh berubah dan hanya meminta penambahan dua persen dari yang diusulkan Pemerintah Daerah Jakarta,” kata Sarman dalam rilis yang diterima Tempo, Kamis, 15 November 2012. Ia menyebutkan, sidang Dewan Pengupahan yang berjalan Rabu kemarin penuh dengan sandiwara lantaran serikat buruh tidak keberatan dengan usulan pemerintah.
Dalam sidang kemarin, pengusaha menilai Pemerintah DKI Jakarta lebih condong kepada serikat buruh. Padahal, kata Sarman, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengharapkan adanya win-win solution (solusi bersama) terkait dengan besaran UMP. “Seharusnya Pemda berdiri di atas semua golongan. Ada kesan angka UMP ini sudah disiapkan,” ucap Sarman.
Melihat gelagat seperti itu, kata dia, akhirnya perwakilan pengusaha memilih keluar dari sidang alias walk out (WO). “Kami berharap hasil sidang dibawa ke Gubernur lalu diputuskan,” ucap Sarman.
Seperti diberitakan, sidang Dewan Pengupahan menetapkan besaran UMP DKI Jakarta sebesar Rp 2,2 juta. Sidang yang dihadiri oleh unsur Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, serikat pekerja, dan pengusaha ini berlangsung cukup alot. Dari pihak serikat buruh meminta besaran UMP Rp 2,7 juta, sementara kalangan pengusaha mematok di angka Rp 1,9 juta. Lalu Pemprov menawarkan UMP sebesar Rp 2,1 juta.
Dengan ditetapkannya angka UMP sebesar Rp 2,2 juta, pihak pengusaha enggan mengakui hasil sidang Dewan Pengupahan. Lantaran walk out, perwakilan pengusaha sendiri tidak menandatangani berita acara. “Kami tidak akan pernah mengakui angka UMP itu,” ujar Sarman, yang juga Wakil Ketua Umum Kadin Jakarta.
Pengusaha siap menggugat lewat jalur hukum bila UMP sebesar Rp 2,2 juta terealisasi. “Ini tidak fair,” tutur Sarman.
ADITYA BUDIMAN