TEMPO.CO, Jakarta - Penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap mata uang utama dunia, terutama euro dan yen, akan menjadi ganjalan bagi penguatan rupiah awal pekan ini.
Memburuknya data ekonomi kawasan Eropa serta kecemasan pemerintahan Presiden Barack Obama akan mengalami kebuntuan dalam pembahasan masalah tebing fiskal senilai US$ 600 miliar yang menjadikan dolar AS sebagai mata uang safe haven bagi para pelaku pasar.
“Kekhawatiran tidak tercapainya kesepakatan masalah fiskal di AS hingga akhir tahun akan kembali memicu apresiasi dolar,” kata Tonny Mariano, pengamat pasar uang dari PT Harvest International Futures.
Ia menjelaskan, mulai tahun depan, Obama akan mengalami ancaman pengetatan anggaran dan kenaikan pajak guna menutupi masalah fiskal. Dampaknya, program stimulus yang telah digelontorkan sebelumnya akan sia-sia.
Kekhawatiran ini membuat tekanan terhadap rupiah masih akan tetap tinggi. Persoalan lain adalah belum adanya sentimen positif yang kuat guna mendorong apresiasi rupiah sehingga diperkirakan rupiah masih akan bergerak di level 9.600-9.650 per dolar AS.
“Bahkan, sampai hingga akhir tahun, rupiah bisa melemah hingga 9.700 per dolar AS. Mungkin baru tahun depan rupiah bisa menguat,” katanya.
Pekan lalu, rupiah ditutup di level 9.629 per dolar AS. Sepanjang tahun ini, rupiah telah melemah 560 poin (6,17 persen) dari posisi pada akhir 2011, senilai 9.069 per dolar AS.
Menurut Tonny, berdasarkan fundamental makroekonomi Indonesia, posisi rupiah sebenarnya masih kuat. Suku bunga acuan, BI Rate, yang tetap dipertahankan di angka 5,75 persen, membuat imbal hasil investasi dalam mata uang rupiah cukup atraktif dibanding kawasan lain. “Yang terpenting, ekonomi domestik masih tetap tumbuh di tengah pelemahan ekonomi dunia,” tutur dia.
PDAT | VIVA B. KUSNANDAR