TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), Raden Priyono, membantah anggapan bahwa lembaganya menjadi pintu masuk kontraktor migas asing menguasai tambang minyak dan gas bumi di Indonesia.
Salah satu alasan pembubaran BP Migas pekan lalu adalah kesimpulan para hakim Mahkamah Konstitusi bahwa pengaturan kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi di negeri ini oleh BP Migas dinilai terlalu liberal dan tidak mengedepankan kepentingan nasional. Ini dianggap melanggar Pasal 33 UUD 1945.
“Bagaimana bisa disebut liberal? BP Migas itu bekerja berdasarkan aturan perundangan. Namanya saja badan pelaksana, tidak bisa bikin kebijakan sendiri,” kata Priyono, saat diwawancarai Tempo, pekan lalu. Wawancara selengkapnya bisa dibaca di majalah Tempo edisi Senin, 19 November 2012, dan bisa dibaca di sini.
Menurut Priyono, BP Migas hanya mewarisi kontrak kerja migas yang sudah ada sejak era Pertamina menjadi regulator. “Yang mengundang orang asing itu siapa? Kan itu zamannya Pak Kurtubi, saat semua asing datang. Kami cuma kebagian belakangan,” kata Priyono dengan nada tinggi.
Dia mengakui bahwa 70 persen kontrak migas di Indonesia saat ini dikuasai perusahaan asing. “Iya, karena dia (Kurtubi) yang mengundang. Tolong dicatat itu. Itu zamannya Pertamina. Di era BP Migas, perusahaan asing yang masuk baru tahap eksplorasi, belum ada yang produksi,” katanya lagi.
Karena itu, Priyono meminta para pengkritik BP Migas mempermasalahkan para pengambil kebijakan di Pertamina dulu. “Kenapa dulu lahan Pertamina tidak dikerjakan sendiri? Di Arun, di Balikpapan, di Sumatera Selatan. Kenapa jatuh ke asing? Padahal itu semua milik Pertamina?” katanya.
TIM TEMPO
Berita Terpopuler:
Foto Obama Gaya ''Alay'' Mendunia
Sebulan Jadi Gubernur, Jokowi Minta Warga Realistis
Mahasiswi Telanjang demi Kalender Amal 2013
FBR dan Warga Ambon Bentrok di Depok
Ahok Diminta Tak Permalukan Anak Buah