TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah munculnya berbagai potensi ancaman, pasar obligasi mata uang lokal Asia Timur terus berkembang dan menunjukkan kinerja yang baik. Berdasarkan laporan Asia Bond Monitor yang diterbitkan Asian Development Bank (ADB), beberapa risiko tersebut datang dari sejumlah pasar obligasi lokal.
"Amerika Serikat jatuh karena hambatan fiskal. Kepemimpinan Cina yang baru harus berurusan dengan perlambatan pertumbuhan di negara ekonomi terbesar kedua dunia. Volatilitas arus modal masuk dan inflasi yang meningkat di kawasan itu juga menjadi ancaman potensial," kata Kepala Kantor ADB untuk Integrasi Ekonomi Regional, Iwan Azis, di Hotel Borobudur, Kamis, 22 November 2012.
Menurut Azis, efek samping volatilitas dari pasar obligasi yang maju ke pasar obligasi lokal menjadi risiko yang besar. Laporan ini menunjukkan guncangan eksternal dan volatilitas semakin sering tertransmisikan antar-pasar domestik dan antar-pasar di seluruh Asia, sejalan dengan perkembangannya. "Berarti otoritas regulasi di Asia perlu memantau dan mengkoordinasikan kebijakan pasar nasional, regional, dan global."
Ia mengatakan, terjadinya penurunan imbal hasil obligasi di sebagian besar negara pada kuartal ketiga tahun ini disebabkan inflasi yang moderat dengan ditopang kinerja ekonomi yang kuat dan stabilnya permintaan investor. Namun tidak demikian dengan Cina. Imbal hasil di negeri itu menjadi lebih tinggi akibat kekhawatiran atas perlambatan pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Perkembangan pasar obligasi di kawasan Asia berbeda dari segi tingkat pertumbuhan, penerbitan, dan imbal hasil. Pasar obligasi mata uang lokal kawasan ini berkembang menjadi US$ 6,2 triliun atau 3,5 persen lebih tinggi dibandingkan pada akhir Juni 2012. Angka tersebut juga lebih besar 11 persen dibanding September 2011.
"Obligasi pemerintah terus mendominasi dengan nilai obligasi yang beredar sebesar US$ 4,1 triliun pada akhir September atau 3,1 persen lebih besar dibanding akhir Juni," kata Azis.
ANGGA SUKMA WIJAYA