TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia menyiapkan serangkaian aturan untuk mendorong penyaluran kredit ke sektor produktif. Semakin besar modal bank, semakin besar porsi kredit produktif yang harus disalurkan. Yang menarik, BI menetapkan paling tidak 20 persennya harus untuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
"Kami ingin memastikan fungsi intermediasi berada pada jalur yang benar. Untuk itu, pada masing-masing kelompok usaha bank ditetapkan target kredit produktif yang harus dipenuhi tiap bank," ucap Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution, dalam Pertemuan Tahunan Pelaku Perbankan (Bankers Dinner) di Bank Indonesia, Jumat malam, 23 November 2012.
Target kredit produktif masuk dalam beleid pengaturan kegiatan usaha dan perluasan jaringan kantor berdasarkan modal. BI membagi empat kelompok bank menurut modal.
Kelompok satu berisi bank dengan modal Rp 100 miliar sampai kurang dari Rp 1 triliun. Kelompok dua, bank dengan modal Rp 1 triliun sampai kurang dari Rp 5 triliun. Kelompok tiga, bank dengan modal Rp 5 triliun sampai kurang dari Rp 30 triliun, dan terakhir, kelompok empat dengan modal lebih besar dari Rp 30 triliun.
BI menargetkan bank di kelompok satu menyalurkan 55 persen kreditnya ke sektor produktif, kelompok dua menyalurkan 60 persen, kelompok tiga menyalurkan 65 persen, dan kelompok empat menyalurkan 70 persen. "Dalam target tersebut juga termasuk kredit UMKM sebesar minimum 20 persen," katanya.
Bank yang sudah menyalurkan 20 persen kreditnya ke UMKM akan memperoleh perlakuan khusus ketika ingin membuka jaringan kantor. Meski secara perhitungan alokasi modal inti, bank sudah tak bisa membuka kantor baru, BI melalui kegiatan supervisory analysis bisa memberikan pengecualian.
Kewajiban menyalurkan 20 persen kredit ke sektor UMKM juga masuk beleid BI yang lain, yakni dalam aturan pembiayaan UMKM untuk bank umum. Juru bicara BI, Difi Johansyah, mengungkapkan, bank umum wajib memberikan porsi minimal 20 persen dari total penyaluran kreditnya untuk sektor UMKM. Adapun penerapannya dilakukan secara bertahap.
Tahapan-tahapan yang dimaksud berlangsung mulai 2013 hingga 2018. Difi menjelaskan, tahun 2013-2014 porsi penyaluran masih dibebaskan kepada masing-masing bank. Pada 2015, BI baru mewajibkan bank menyalurkan minimal 5 persen dari total kreditnya untuk UMKM. Pada 2016, 2017 dan 2018, kewajiban bank terus naik mulai dari 10 persen, 15 persen, kemudian 20 persen.
Menurut Difi, sejauh ini, rata-rata penyaluran kredit UMKM sudah di kisaran 20 persen. Namun, ini baru secara industri. Melalui aturan baru BI ini, diharapkan tiap bank bisa memberikan porsi lebih besar. "Secara industri sudah, hanya ingin lebih tinggi," ucapnya.
Bank dengan jumlah cabang yang terbatas, kata Difi, juga bisa memberikan kredit secara tidak langsung. Misalnya melalui Badan Perkreditan Rakyat (BPR).
Ketua Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), Sigit Pramono, menilai sudah banyak bank yang memenuhi syarat yang ditetapkan BI itu. Asalkan kategori kredit UMKM yakni di bawah Rp 5 miliar. Meski begitu, menurut Sigit, tak menutup kemungkinan ada bank yang sulit menyesuaikan diri.
"Ada bank yang kesulitan, ada yang sudah memenuhi, ada yang berlebihan," ucapnya.
Direktur Utama Bank Mandiri, Zulkifli Zaini, menilai positif kebijakan BI tersebut. "Saya kira bagus. Bank-bank tidak memberikan kredit-kredit yang sifatnya konsumtif,” katanya.
Dengan demikian, menurut Zulkifli, semua bank ikut di dalam pengembangan sektor riil. Tidak hanya yang terkait kredit konsumtif saja. Sejauh ini, menurut perkiraan Zulkifli, kredit di Bank Mandiri ke sektor produktif sudah menembus 70 persen.
MARTHA THERTINA