TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril, mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menyelesaikan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pasalnya peraturan itu dapat memperjelas posisi penyidik yang bertugas di KPK. "PP itu dibutuhkan agar ada kepastian hukum soal penyidik KPK," katanya ketika dihubungi, Rabu, 5 Desember 2012. Dia menilai revisi peraturan pemerintah itu bisa menegaskan beberapa peraturan yang sebelumnya masih abu-abu.
Beberapa hal yang perlu masuk dalam revisi di antaranya penegasan waktu kerja penyidik KPK, syarat penarikan penyidik KPK, dan mengatur status penyidik tetap KPK. "Kalau perlu diatur juga bahwa penyidik yang sedang menangani suatu kasus belum bisa ditarik terlebih katika bertindak sebagai ketua tim."
Hal itu penting agar tak terjadi sengkarut tarik menarik penyidik dan tenaga kerja di KPK. Masalah penarikan menyidik bisa berbuntut panjang karena sangat mempengaruhi kinerja KPK dalam mengungkap kasus korupsi. "Ini kesempatan Presiden menyelesaikan konflik antara KPK-Polri," katanya.
Dia menilai penarikan penyidik polisi dari KPK bisa menjadi senjata ampuh Polri. "Penarikan menunjukkan bahwa polisi itu superior," katanya. Dia menghubungkan masalah ini dengan penarikan 20 penyidik dari KPK tak lama setelah KPK menggeledah markas Korps lalu Lintas kepolisian dalam kasus korupsi pengadaan simulator SIM.
Lima hari lalu Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia menyatakan tak memperpanjang masa tugas 13 penyidik—enam di antaranya sudah diangkat menjadi penyidik tetap KPK—yang bertugas di KPK. Juru bicara kepolisian, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, menyatakan mereka ditarik demi pembinaan karir dan profesi, bukannya balas dendam karena KPK menahan eks Kepala Korps Lalu Lintas, Jenderal Djoko Susilo, yang menjadi tersangka korupsi simulator mengemudi.
ANGGRITA DESYANI