TEMPO.CO, Jakarta - Kesetaraan gender adalah isu yang tak pernah habis dibahas. Jika dalam dunia politik di Indonesia ada batasan minimal 30 persen perempuan untuk mengisi bangku parlemen, bagaimana dengan dunia ekonomi?
Sebuah riset yang dilakukan Pusat Studi Pemerintahan, Institusi, dan Organisasi National University of Singapore (NUS) Business School menunjukkan bahwa, dari 424 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), hanya 40 persen di antaranya yang memiliki anggota direksi atau komisaris perempuan.
Lebih jauh, riset itu juga memaparkan, dari 3.736 anggota dewan direksi dan komisaris perusahaan yang telah go public itu, hanya 11,6 persen yang berjenis kelamin perempuan. "Tapi tetap saja, ini jumlah tertinggi jika dibanding negara Asia lain," kata Dr Marleen Dieleman, peneliti senior di NUS Business School dalam sebuah diskusi di Graha Niaga, Jumat, 7 Desember 2012. Menurut Dieleman, di negara berkembang, rata-rata hanya 7,2 persen jabatan elite di perusahaan swasta yang diduduki perempuan.
Dieleman lalu menyebut beberapa contoh. Hanya 10,3 persen anggota direksi dan komisaris perusahaan Hong Kong yang berjenis kelamin perempuan. Malaysia dan Singapura 7,3 persen. Sedangkan Jepang punya angka terendah dalam jumlah perempuan yang duduk sebagai anggota dewan direksi dan komisarisnya, yakni 1,1 persen.
Hanya, dibanding dengan negara-negara yang lebih maju, posisi Indonesia relatif rendah. Di rata-rata negara Eropa, ada 17 persen jabatan elite perusahaan publik yang diduduki perempuan. Amerika Serikat punya 16,1 persen jatah untuk perempuan sebagai direktur atau komisaris perusahaan, sementara Australia 13,8 persen.
Jenis perusahaan yang jabatan elitenya cukup banyak diduduki perempuan adalah keuangan, perdagangan, dan investasi (14,2 persen), sementara pertanian sebesar 7,1 persen, dan paling rendah adalah pertambangan (6,6 persen).
Cukup terbukanya kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berkarier cemerlang di perusahaan swasta, menurut Deputy President Panin Bank Roosniati Salihin adalah karena kebebasan untuk mengakses pendidikan. "Saya sendiri bisa menuntut ilmu hingga Jepang dan Amerika," ujarnya.
Roosniati mengatakan, saat perekrutan, perusahaan berpikir perempuan hanya akan bisa bertahan hingga menikah atau punya anak. Setelah itu, perempuan—entah karena memilih atau terpaksa—akan memutuskan untuk berhenti bekerja, demi berfokus kepada keluarganya. Perusahaan otomatis akan berpikir lebih panjang untuk menerima lalu mengeluarkan dana training bagi si calon karyawan perempuan. "Paradigma ini harus kita ubah," ujarnya.
Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif Mari Elka Pangestu mendukung pernyataan Roosniati. Menurut dia, perempuan justru unggul dalam urusan membagi waktu. "Saya sendiri, saat di kantor ya fokus ke pekerjaan, di rumah fokus ke keluarga," katanya.
Seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia, kesetaraan gender dalam kesempatan berkarier, menurut Menteri Mari, akan menjadi hal penting. "Ini akan menjadi fondasi sosial dan ekonomi yang kuat bagi negeri kita," ujarnya.
PINGIT ARIA