TEMPO.CO, Jakarta--Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyusun panduan implementasi kerangka kerja pencegah konflik bagi pemerintah pusat dan daerah. “Ini merupakan strategi untuk mengurangi risiko-risiko konflik dengan cara mengidentifikasi dan menciptakan kondisi serta lingkungan yang lebih stabil dan predictable,” kata Thung Ju Lan, koordinator Tim LIPI, ketika menyajikan draf panduan tersebut di Jakarta, Senin 10 Desember 2012.
Dalam penyusunan panduan itu, LIPI bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, PTD, dan UNDP. Sejak 1997, dua lembaga LIPI (Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan serta Pusat Penelitian Politik) selalu melakukan riset mengenai konflik yang terjadi di berbagai daerah di Tanah Air.
Conflict prevention framework (CPF) disusun sebagai strategi struktural serta operasional jangka pendek, menengah, dan panjang. Strategi ini dilakukan secara proaktif dan melibatkan perubahan sikap fundamental dari berbagai aktor dan pihak terkait. Konflik yang dimaksudkan adalah pelbagai bentuk sengketa atau pertentangan yang mengarah pada permusuhan laten atau yang bermuara pada bentrokan fisik berupa tindak kekerasan dan kerusuhan.
Panduan ini memuat unsur kelembagaan pencegah konflik, bagaimana mengenali potensi konflik, dan manajemen pengetahuan tentang pencegah konflik. Juga dibahas strategi pencegah konflik berdasarkan isu dan apa saja tindakan pencegah konflik yang dapat diterapkan.
"Ini rekayasa kecil untuk meningkatkan capacity building dan obat awal untuk memberi dorongan dalam menyelesaikan pengelolaan konflik,” kata Ju Lan. Dia menjawab keraguan Dewi Fortuna Anwar, peneliti LIPI, yang tak yakin bahwa birokrat punya waktu dan kemampuan untuk memahami panduan yang dibuat LIPI.
Dewi menjelaskan, panduan yang disusun LIPI baru mengupas tahap pertama dari penyelesaian konflik, yaitu Confidence Building Measures (CBMs). Adapun dua tahap lainnya, yaitu prevention diplomacy dan resolusi konflik, belum banyak disinggung.
Penilaian senada juga diungkapkan Thamrin Amal Tomagola, sosiolog dari Universitas Indonesia yang banyak terlibat dalam penyelesaian konflik di Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan dareah lainnya. Thamrin memaparkan anatomi konflik di berbagai daerah di Tanah Air, yang ia sebut The ring of social fire. “Anatomi ini mampu menganalisis bom waktu konflik komunal apa saja yang akan meletus,” katanya.
Thamrin menjelaskan, ada sejumlah etnis yang mampu mengelola konflik sesuai dengan adat-istiadat mereka, misalnya, yang belum lama ini terjadi, di Adonara, Kabupaten Flores Timur, NTT. Dua pihak bersengketa soal lahan yang terkait dengan pemekaran wilayah. Para tokoh lantas menggelar perang tanding. Dalam perang itu, pihak yang kalah tidak dapat mengklaim lahan itu. Ini, ujar Thamrin, di luar nalar kita dan hukum positif.
UNTUNG WIDYANTO
Berita terpopuler:
Gaya Mewah Djoko Susilo, Nunun, dan Miranda
Di Malaysia, Habibie Dianggap Pengkhianat Bangsa
Pengacara Nazaruddin: Anas Jelas Terlibat
Disebut Pengkhianat Bangsa, Habibie Center Santai
Partai Demokrat Digerogoti Anak Kos