TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga swadaya masyarakat Migrant Care mencatat ada 420 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati di luar negeri selama 2012. Menurut Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah, pemerintah terlalu lambat dalam menangani tenaga kerja Indonesia (TKI) yang terjerat kasus kriminal.
"Pada saat berhadapan dengan masalah, buruh migran dibiarkan sendirian," kata Anis, ketika ditemui di Bundaran Hotel Indonesia, saat melakukan aksi Hari Buruh Migran Internasional, Selasa, 18 Desember 2012.
Anis mencontohkan kasus Satinah di Arab Saudi. Perempuan asal Unggaran, Jawa Tengah ini yang hanya bisa diselamatkan nyawanya melalui pembayaran diyat. Namun, pemerintah kesulitan membayar diyat karena dianggap terlalu besar, yakni 10 juta riyal atau sekitar Rp 25 miliar.
"Padahal besaran diyat ini masih lebih kecil dibanding Satuan Tugas TKI yang menghabiskan Rp 200 miliar tahun ini untuk biaya perjalanan," tutur Anis.
Kasus lain dialami oleh Maryanto dan dua buruh migran asal Pontianak, yakni Frans dan Dhary. Persidangan ketiganya tidak diketahui oleh Kedutaan Besar Indonesia dan pengacara dibiayai oleh iuran buruh migran.
Anis menuturkan, pelitnya pemerintah juga ditunjukkan ketika pemerintah enggan mengevakuasi puluhan ribu buruh migran Indonesia yang terperangkap perang saudara di Suriah.
Data dari Migrant Care menyebutkan saat ini ada 420 TKI yang terancam hukuman mati. Dari jumlah itu, di Malaysia sebanyak 351 orang, Cina ada 22 orang, Singapura satu orang, Manila satu orang, dan di Arab Saudi 45 orang. Dari angka itu, 99 orang di antaranya telah divonis hukuman mati.
"Kasus hukuman mati tidak bisa diselesaikan hanya dengan pidato prihatin," kata Anis.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, jumlah warga Indonesia yang bekerja di luar negeri mencapai 3.998.592 orang. Tiga negara utama tujuan para TKI adalah Arab Saudi (1.427.928 orang), Malaysia (1.049.325 orang), dan Taiwan (381.588 orang).
SUNDARI