TEMPO.CO, Yogyakarta--Perempuan-perempuan bercelana pendek memutari angkringan di kawasan Terminal Giwangan. Pahanya gempal. Sembari menyilangkan kaki, mereka cekikikan. Siang terik tak menyurutkan usaha menarik perhatian orang yang lewat.
Angkringan menjadi semacam etalase bagi para pekerja seks. Ada pengunjung yang sekadar mampir. Ada pula yang menawar hingga terjadi kesepakatan harga. "Tawar menawar dimulai di angkringan. Pelanggan mulai dari anak SMP, mahasiswa, hingga orang-orang tua," tutur Layu (nama samaran) kepada Tempo, Senin, 18 Desember 2012.
Perempuan 45 tahun ini menjadi pekerja seks sejak 2005. Saat ini, ia masih sering melayani pelanggan tetapnya saat suaminya bepergian. "Dikatakan berhenti jadi pekerja seks ya tidak karena saya masih melayani pelanggan tetap,” katanya.
Layu yang berputra satu aktif sebagai anggota "Surti Berdaya", komunitas pekerja seks Terminal Giwangan. Surti Berdaya menurutnya berarti ngisor jati jaya. “Kami namakan Surti Berdaya karena anggota kami ingin berdaya hingga meraih kesuksesan,” katanya.
Ia menuturkan di kawasan Terminal Giwangan terdapat 200 pekerja seks dengan umur rata-rata 25-50 tahun. Setiap malam, mereka menyebar di kawasan jalan lingkar Utara dan Selatan sekitar terminal.
Dari seluruh pekerja seks, hanya 50 yang sudah menjadi anggota komunitas "Surti Berdaya". Sisanya masih sulit diajak bergabung dengan alasan sering pindah karena taut dirazia aparat keamanan. "Mereka susah diajak gabung ke dalam komunitas karena khawatir waktunya tersita. Ada yang bekerja non stop atau siang malam melayani pelanggan setiap harinya," katanya.
Keberadaan komunitas, kata dia, penting karena memiliki beragam kegiatan, seperti penyuluhan kesehatan bahaya HIV Aids yang melibatkan PKBI, arisan, simpan pinjam. Sebagai bentuk solidaritas antar sesama, para pekerja seks juga seringkali membantu temannya yang berkesusahan, misalnya ada yang meninggal dunia. "Kalau ada yang tertangkap satpol PP, kami akan mendampingi hingga ke persidangan. Memang merepotkan. Tetapi ya itulah risiko kami menjadi pekerja seks," katanya.
Mereka yang tergabung dalam komunitas bahkan seringkali berbagi tentang pengalaman ketika menerima perlakuan kasar hingga tak dibayar para pelanggan. "Ya kami sering curhat tentang perilaku pelanggan yang bermacam-macam," ujar dia.
Layu berkisah para pekerja seks banyak mengalami kekerasan psikis maupun fisik dari pelanggan. Pada 2007, ia pernah menerima perlakuan kasar dari seorang pelanggan di bawah pengaruh minuman keras. Kala itu, ia melayani pelanggan di sebuah hotel dengan kesepakatan transaksi pembayaran sebesar Rp200.000. "Pemabuk itu meminta saya melayani lebih dari satu jam. Karena tidak sesuai perjanjian, saya tidak mau. Lalu dia menampar saya," ucap dia.
Pengalaman buruk Layu yang lain adalah tak dibayar sesuai kesepakatan oleh seorang pelanggan. Layu hanya dibayar Rp50.000 dari kesepakatan sebesar Rp200.000. "Lha kalau tak dibayar utuh saya tak akan dapat uang. Saya harus bayar Rp50.000 ke hotel," katanya.
Menurut dia, para pekerja seks lain di kawasan Giwangan senasib dengan dirinya. Mereka yang bertarif Rp150.000 hanya dibayar separuh harga. Selain itu, mereka harus menanggung risiko dirazia saat menawarkan diri di pinggir jalan.
Layu kini mencoba berdaya dengan menjual kosmetik di kos-kos yang ditempati para pekerja seks di Giwangan. Selain Layu, beberapa pekerja seks yang sudah berumur tua kini bekerja di pabrik rokok, menjahit, dan membuka warung-warung kecil. "Biarlah yang muda-muda yang melayani pelanggan karena kami sudah tua dan tak laku," katanya.
Para pekerja seks yang tinggal di kos-kos di Giwangan, kata dia selama ini hidup damai berdampingan dengan masyarakat kampung sekitar. Kadangkala mereka diundang dalam acara-acara kampung.
Pemilik angkringan kawasan Giwangan, Bunga (nama samaran) mengatakan ia menyewakan dua kamar di rumahnya untuk para pekerja seks dan pelanggan. Ia meneruskan usaha menyewakan kamar dari orang tuanya yang dulu berada di sebelah barat pom bensin kawasan Giwangan. Orang tuanya menyewakan kamar sejak 1974.
Bunga mengatakan ingin beralih ke pekerjaan lain yang lebih layak. Namun, biaya kebutuhan hidup yang semakin banyak membuatnya tak sanggup meninggalkan pekerjaan itu. Penghasilannya menjual angkringan hanya Rp 40.000 dalam semalam.
SHINTA MAHARANI