TEMPO.CO, Seoul - Bagi banyak orang di Korea Selatan, Park Geun-hye dianggap melanggar 'tabu' politik. Selama ini, kursi kepresidenan Negeri Ginseng itu seolah tertutup bagi kaum wanita. "Jika dia terpilih menjadi presiden, dia menambrak tabu itu. Sama seperti Barack Obama yang menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat," tulis Guardian, ketika mengulas pencalonannya pada bulan Juli 2012.
Dia tak hanya menabrak satu tabu, tapi juga tabu lainnya, yaitu memutuskan tak menikah. Dia usianya yang ke-60 tahun, dia tetap bertekad membujang. "Saya hanya ingin mendedikasikan hidup saya bagi negara," ujarnya.
Park Geun-hye adalah putri Park Chung-hee, yang memerintah selama 18 tahun sebelum tewas dibunuh pada tahun 1979. Meski lawan-lawannya menjuluki dia "diktator" yang dianggap menginjak-injak hak asasi manusia dan perbedaan pendapat, ia juga dielu-elukan sebagai pelopor yang membangun pondasi negara dari reruntuhan Perang Korea 1950-1953 hingga menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia saat ini.
Saat mengumumkan kampanye untuk menjadi presiden, iPark Geun-hye berjanji untuk mengatasi ketidaksetaraan dan memperbaiki hubungan dengan Korea Utara. Dijuluki sebagai "Thatcherisme Korea", ia berjanji untuk "menciptakan sebuah negara di mana tidak ada yang tertinggal dan mematahkan siklus ketidakpercayaan antara Korea Utara dan Korea Selatan."
Dari sepertiga dari suara dihitung, Park Geun-hye meraih suara 53 persen. Penantangnya, penggiat hak asasi manusia Moon Jae-in dari kubu sayap kiri, mengantongi 47 suara.
Kemenangan Park Geun-hye sudah diprediksi sebelumnya. Jajak pendapat terakhir menunjukkan, ia unggul 50,1 persen.
Jika dia menang, Park Geun-hye akan menjabat selama lima tahun pada bulan Februari. Tugas berat menantinya, antara lain tantangan langsung dari Korea Utara yang kini mengambil posisi bermusuhan dan tingkat pertumbuhan tahunan yang turun menjadi sekitar 2 persen dari rata-rata 5,5 persen dalam 50 tahun terakhir.
GUARDIAN | TRIP B