TEMPO.CO , Jakarta: Pesan pendek pada April 2009 itu datang dari Sofyan Djalil, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara di Kabinet Indonesia Bersatu jilid I. Sang Menteri mengundang Richard Joost Lino, yang waktu itu masih menjadi direktur proyek di AKR Nanning di Guangxi, Cina, agar datang ke kantornya.
“Saya diminta bertemu untuk kemungkinan jadi Direktur Utama PT Pelindo II,” kata Lino di rumahnya di kawasan Pejaten Barat, Jakarta Selatan, Rabu dua pekan lalu.
Meski cukup tertarik, Lino belum berbulat hati ketika sepekan kemudian akhirnya datang menghadap Sofyan dan Said Didu, Sekretaris Menteri BUMN. Itu bukan hanya karena posisinya yang cukup nyaman di Cina, tapi juga lantaran Lino masih ingat saat 19 tahun sebelumnya ia memutuskan meninggalkan kariernya sebagai manajer senior di Pelindo II karena berselisih paham dengan salah satu pemimpin.
Datang tanpa motivasi memburu jabatan, alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung angkatan 1976 ini hampir tak punya beban. Ia menyampaikan apa yang ada di benaknya tanpa sensor.
Dia bilang, waktu pelabuhan itu ia tinggalkan pada 1990, di Asia, Tanjung Priok hanya kalah dari Singapura, Hong Kong, dan Jepang. Dibandingkan dengan Taiwan, Cina, Malaysia, Vietnam, India, dan Timur Tengah, pelabuhan kita masih jauh lebih baik. “Tapi, sejak 19 tahun lalu, tidak ada pembangunan yang besar di sana,” Lino mengulang apa yang dikatakannya kepada Sofyan. “Bahkan fasilitas yang ada pun tak terawat dengan baik.”
Lino tak sungkan menunjukkan beberapa kekeliruan Kementerian BUMN dalam mengukur sukses-tidaknya direksi Pelindo. Ketika Said Didu mengatakan Pelindo II memberi keuntungan mendekati Rp 1 triliun pada 2008, Lino justru menyalahkannya.
Jika kriteria sukses direksi Pelindo adalah besaran profit, Lino menambahkan, semua pemimpin perusahaan akan berfokus pada tujuan jangka pendek untuk menangguk untung sebesar-besarnya. Mereka akan cenderung menunda investasi. Akibatnya, kondisi semua pelabuhan jelek, dengan profesionalitas pengelola yang rendah.
Kapal-kapal kerap harus antre berhari-hari sebelum bisa bersandar dan melakukan bongkar-muat di dermaga. Biaya transportasi pun bengkak. “Kapal-kapal di Indonesia lebih lama bersandar daripada berlayar. Itu dosa besar bagi semua orang yang ada di situ,” Lino menjelaskan. “Kapal itu seperti taksi. Kalau tidak berlayar, ia tak mendapat uang. Dan konyolnya, untuk bersandar di pelabuhan, mereka harus bayar.”
Kepada Sofyan, Lino mengatakan cara kerja seperti itu keliru besar. Ia lantas mengajukan syarat. Kalau nantinya jadi diangkat, dia minta konsepnya diubah. “Yang menyangkut keuangan itu hanya 20 persen. Selebihnya adalah pelayanan. Karena pengelolaan pelabuhan itu monopoli, kalau hanya bikin profit, itu bukan sesuatu yang sulit.”
Sofyan mengaku langsung terpukau pada paparan Lino. Lino menjadi salah satu dari enam "CEO BUMN Pilihan Tempo 2012". Tulisan selengkapnya, baca di Majalah Tempo Edisi 23 Desember 2012.
TIM TEMPO