TEMPO.CO, Tangerang - Ternyata tidak seluruh perusahaan yang keberatan dengan ketentuan upah minimum kota/kabupaten mengajukan penangguhan ke pemerintah daerah setempat. Ada pengusaha yang lebih memilih berkompromi dengan serikat pekerja masing-masing.
Perusahaan garmen ekspor di Galeong, Jln. M. Toha, Tangerang, misalnya, memilih bernegosiasi dengan serikat pekerja.
"Pada prinsipnya kami siap membayar upah, tapi kami ingin tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah. Sebab, yang kami bayar tidak hanya UMK, melainkan upah sektoral," kata manajer perusahaan itu, Anwar, kepada Tempo di Tangerang, Jumat, 4 Januari 2013.
Keberatan pembayaran UMK ini, kata Anwar, menjadi keberatan kolektif. Sehingga, perusahaan sepakat belum membayar UMK sesuai penetapan Gubernur Banten. Hal yang mendasari beratnya pembayaran upah karena beban yang ditanggung perusahaan tidak hanya upah buruh, jamsostek, uang kesehatan, tetapi juga ongkos produksi dan biaya kirim barang.
"Jadi, dilematis. Kadang produksi tidak sesuai target. Otomatis lembur pengiriman barang telat, buyer komplain kami harus ganti cara kirim dengan pesawat. Ongkos tambah mahal, belum lagi bisa kena denda karena keterlambatan tadi. Ya perusahaan kelenger habis itu buyer kabur cari pabrik lain,"kata Anwar.
Maka, kata Anwar, agar buyer tak kabur, perusahaannya mencoba berkompromi dengan serikat pekerja. Hal itu juga kabarnya dilakukan di sejumlah perusahaan garmen dan sepatu seperti PT KMK Global Sport dan PT Gaya Indah Kharisma.
Alasan lain perusahaan melakukan kompromi dengan serikat pekerja, menurut Wakil Ketua Apindo Kabupaten Tangerang, Juanda Usman, karena ketentuan penangguhan keberatan upah itu harus memenuhi sejumlah persyaratan yang sulit, seperti perusahaan harus memiliki prosedur pailit dan sudah diaudit.
AYU CIPTA