TEMPO.CO, Jakarta -Pemerintah akan menetapkan perubahan masa berlaku Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari tiga bulan menjadi enam bulan. Nantinya, importir produk hortikultura bisa menggunakan surat RIPH untuk enam bulan pemasukan. Sehingga dalam setahun pemerintah akan mengeluarkan dua kali RIPH.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Bachrul Chairi mengatakan, masa berlaku impor yang terlalu pendek bisa menyebabkan hambatan administrasi, sehingga kini diubah menjadi enam bulan. "Syukur-syukur bisa satu tahun," kata Bachrul saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jumat 4 Januari 2013.
Menurutnya, masa berlaku selama enam bulan ituuntuk menghindari penumpukan kontainer di pelabuhan masuk impor. Masalah administrasi impor ini seringkali menghambat pemasukan barang impor. Sebabnya, masa berlaku terlanjur habis namun kapal pengangkut barang baru sampai di pelabuhan masuk. "Kami akan perbaiki di masa datang. Tujuannya kan mengatur adanya perdagangan teratur tapi tidak ingin menimbulkan kontraproduktif," ujar Bachrul.
Kepala Badan Karantina Pertanian Kementerian Pertanian Banun Harpini menyatakan, dalam RIPH ada 20 komoditas hortikultura yang diatur. Dari jumlah itu, nantinya Kementerian Pertanian akan memberikan informasi terkait musim panen di dalam negeri. Juga akan diinformasikan produk apa saja yang tidak boleh diimpor dalam waktu enam bulan kedepan.
"Karena prinsip impor itu kan hanya untuk mengisi kebutuhan dan mana saja yang kurang dari dalam negeri," kata Banun. Pemberian RIPH ini juga memperhatikan kemampuan dan kebutuhan hortikultura seperti buah dan sayur dengan ikut mempertimbangkan permintaan dari turis maupun ekspatriat yang ada di Indonesia.
Kebijakan baru impor produk hortikultura ini diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura yang ditandatangai 21 September, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60 Tahun 2012 tentang ketentuan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang ditandatangi pada 24 September 2012. Kedua beleid ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura.
"Aturan ini mengatur mekanisme mana produk yang tidak bisa kita tanam dan mana yang demandnya tinggi tapi belum terpenuhi. Seperti anggur untuk konsumsi segar yang belum bisa memenuhi kebutuhan," kata Banun.
Kebijakan pengaturan impor ini, kata dia, dianggap bisa menekan volume impor dan menjaga keamanan produk hortikultura bagi konsumen. Selain perlindungan konsumen, aturan juga dibuat untuk melindungi petani dalam negeri dari gempuran buah dan sayur impor.
"Aturan ini bisa menekan impor. Tahun 2011 saja impor buah kita 1,2 juta ton sedangkan realisasi pada 2012 hingga Desember turun menjadi 800 ribu ton. Ini karena kebijakan pengendalian impor," ujarnya.
Tahun ini Banun memprediksi volume impor akan turun dengan asumsi kebijakan yang dibuat sudah mulai berjalan baik dan para importir sudah mulai memahami aturan tersebut. Sayangnya, Banun belum mau menyebutkan berapa rekomendasi volume impor yang dikeluarkan untuk importasi tahun ini, dengan alasan masih dihitung.
ROSALINA