TEMPO.CO, Malang - Bayi berusia empat bulan, Farahatul Afiyah, terus menangis di gendongan ibunya, Ratih Mustikowati, 31 tahun. Warga Kelurahan Gadang, Kota Malang, ini mendatangi kantor Dinas Kesehatan sambil meneteskan air mata. Anak keduanya tersebut menderita hydrocephalus, tetapi ditolak Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang. "Kami juga tak punya biaya," kata Ratih, Senin, 7 Januari 2013.
Penghasilan suaminya sebagai pekerja di toko hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selama hampir dua bulan ini, Afiyah terlantar tak mendapat pengobatan kesehatan yang memadai. Ratih hanya bisa mendatangi praktek pijat refleksi, berharap Afiyah bisa sembuh seperti semula. Namun, metode pemijatan tak juga mendatangkan hasil.
Afiyah lahir 8 September 2012 secara normal, tak mengalami kelainan fisik. Lantas, dua bulan kemudian kepala Afiyah membesar dan pandangan mata tak fokus. Setelah berobat di puskesmas, Afiyah didiagnosa menderita hydrocephalus, selanjutnya dirujuk ke RSSA Malang. Namun, biaya perawatan tinggi, sedangkan Ratih tak memiliki Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) maupun Jaminan Kesehatan Daerah.
Ratih sempat mengajukan permohonan Surat Pernyataan Miskin (SPM) ke Dinas Kesehatan setempat Desember 2012 lalu, tapi ditolak. Alasannya, anggaran SPM dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terkuras habis. Harapan mendapat keringanan biaya pengobatan nyaris sirna saat memasuki loket tertulis pendaftaran ditutup. "Saya telah mengajukan surat mulai RT, RW dan Kelurahan," katanya.
Pada 2013, Dinas Kesehatan mengalokasikan anggaran kesehatan sebesar Rp 25 miliar. "Seluruh warga miskin dibebaskan biaya kesehatan," kata Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan, Rohana. Syaratnya hanya melengkapi syarat administrasi antara lain surat rekomendasi dari RT, RW, dan kelurahan setempat. Rohana menyangkal jika mempersulit proses administrasi untuk keluarga miskin yang mengajukan SPM.
EKO WIDIANTO