TEMPO.CO, Tasikmalaya - Warga Kampung Petir, Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, membangun madrasah ibtidaiyah (MI) secara swadaya. Warga menggunakan tanah wakaf yang awalnya ditanami kapol, untuk mendirikan sekolah.
Upaya ini dilakukan, karena jarak dari tempat tinggal warga ke sekolah dasar terdekat sangat jauh. "(Jarak) Lebih dari 3 kilometer. Itu pun bukan jalan desa, tapi lewat kebun dan harus melintasi dua sungai," kata Fahrudin (37), penggagas sekolah swadaya saat ditemui Tempo di Cigalontang, Selasa, 8 Januari 2013.
Menurut dia, luas tanah wakaf yang akan dijadikan sekolah yakni 200 bata. Satu bata, luasnya kira-kira 14 m2. Dulunya, tanah wakaf ini ditanami kapol, kelapa dan pohon albasia. Selain letak sekolah jauh, pendirian sekolah secara swadaya ini karena dulu pernah ada murid asal kampung ini yang diculik ketika hendak berangkat sekolah. Bahkan saking takutnya, murid SD di kampung tersebut enggan sekolah selama satu minggu.
"Karena jauh dari sekolah, ada beberapa anak yang putus sekolah. Bagaimana nasib mereka di masa depan jika putus sekolah," kata dia.
Menururt Fahrudin, saat ini memang ada angkutan umum untuk sampai di sekolah terdekat. Namun angkutan itu cuma melintas dua jam sekali, ongkosnya pun tak murah bagi warga yang berpenghasilan minim. "Angkutan hanya sampai dhuhur (jam 12.00). Kalau pakai ojek, ongkosnya lumayan sekitar Rp 5 ribu sampai Rp 7 ribu,".
Fahrudin melanjutkan, pihaknya sudah menyampaikan aspirasi kepada pihak desa setempat agar dibuatkan sekolah dasar, namun hingga sekarang belum terealisasi. Alasan pihak desa, kata dia, terbentur masalah pembebasan lahan. "Di sini tak ada lahan lain. Jika ada, lahan itu harus dibeli," jelas dia.
Nantinya, kata dia, guru diambil dari warga setempat yang telah lulus mengenyam pendidikan tinggi di fakultas keguruan. Sedangkan mata pelajarannya tetap merujuk pada kurikulum nasional. "Sudah ada empat orang guru yang siap mengajar," kata dia.
Fahrudin berharap, sekolah swadaya ini bisa beroperasi pada tahun ajaran baru.
Akbar, salah seorang anak putus sekolah mengaku, saat masih sekolah dirinya harus jalan kaki ke sekolah selama kurang lebih satu jam. Kegiatan belajar mengajar dimulai jam 07.00. "Dari rumah berangkat jam 06.00," kata Akbar yang hanya mampu sekolah hingga kelas tiga.
Dia mengaku terpaksa tidak sekolah jika turun hujan deras. "Sekolahnya jauh, baju suka basah pas sampai sekolah," kata dia.
CANDRA NUGRAHA