TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia menegaskan tak mampu membayar diyat (denda kematian) untuk TKI Satinah di Arab Saudi sebesar Rp 25 miliar. Menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), pihaknya masih berunding dengan pihak keluarga korban.
"Kami tidak mampu membayar diyat 7 juta riyal (Rp 25 miliar)," ujar Ketua BNP2TKI Jumhur Hidayat saat menggelar jumpa pers di kantornya, Rabu, 9 Januari 2013. Keluarga korban sepakat memberi waktu pemerintah selama 6 bulan, hingga Juni nanti.
Jumhur menambahkan, pertimbangan diperlukan selain karena jumlah diyat yang tidak sedikit, juga latar belakang kasus Satinah yang berbeda dengan kasus sebelumnya, Darsem. Penegasan Jumhur ini berbeda dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Akhir pekan lalu, Marty mengaku upaya pembebasan Satinah terus berlangsung dan diyat sedang diusahakan.
Kasus Darsem, katanya, membela diri, sehingga simpati masyarakat berbeda. "Sedangkan Satinah membunuh majikan perempuannya dengan sengaja. Ia juga mengambil uang 37 ribu riyal (Rp 100 jutaan)," ujar Jumhur. Karena itu, kata Jumhur, kasus perempuan asal Dusun Mruten, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah ini adalah privat alias pribadi.
Karena latar belakang kasus ini, Jumhur berpendapat pemerintah tidak perlu gegabah dalam menyetujui jumlah besaran diyat. "Pemerintah tidak bisa serta-merta mengambil pajak segitu. Kami sedang berunding, saya katakan kepada mereka," ujar Jumhur.
Sebelumnya, seorang tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi, Satinah binti Jumadi Ahmad Rabin, 40 tahun, harus berhadapan dengan hukum pancung. Alasannya, hingga kini uang diyat atau denda yang dijanjikan tak kunjung diserahkan kepada pemerintah Arab Saudi. Tenggat pembayaran diyat bagi Satinah akan berakhir pada 12 Desember.
FEBRIANA FIRDAUS