TEMPO.CO, London - Inggris mengumumkan akan terlibat dalam meredam pemberontakan yang didukung Al-Qaeda di Mali untuk membantu Prancis. Keterlibatan ini disebabkan adanya kekhawatiran pembalasan dari pemberontak karena pasukan mereka sudah tewas 120 orang.
Kantor Perdana Menteri di Downing Street mengumumkan akan mengirimkan dua pesawat pengangkut. Namun, pasukan Inggris tak akan bergabung dengan pasukan Mali, yang hendak merebut kembali wilayah utara Mali dari pemberontak.
Menurut salah satu juru bicara, Perdana Menteri David Cameron akan berbicara dengan Presiden Prancis Francois Hollande malam ini untuk membahas kondisi di Mali, serta bagaimana Inggris bisa masuk untuk membantu Prancis. "Kedua pemimpin sepakat kondisi di Mali menimbulkan ancaman nyata bagi keamanan internasional," kata juru bicara tersebut.
Sebelumnya, Hollande menyatakan dalam serangan udara selama dua hari kemarin pesawat Prancis hanya melakukan tembakan salvo. "Kami telah menahan laju musuh, dan mengerogoti mereka. Namun misi kami belum berakhir," ujar Hollande.
Menurut seorang perwira militer senior di Mali pemboman udara itu menewaskan pilot Prancis, Damien Boiteux. Sekitar 100 tentara pemberontak juga tewas dalam pertempuran di Konna. Pejabat itu juga mengatakan 11 tentara pemerintah tewas. Kelompok hak asasi manusia menghitung, 10 warga sipil juga ikut tewas.
Prancis bersikeras itu melakukan operasi militer di Mali usai kudeta militer Maret lalu membuka jalan bagi pemberontakan. Alasan keterlibatan mereka untuk mendukung pasukan PBB di Afrika Barat.
Tawaran bantuan dari Perdana Menteri David Cameron ini dikhawatirkan bisa memprovokasi ancaman serangan pembalasan ke Eropa. Presiden Francois Hollande kemarin menempatkan pasukannya dalam posisi siaga tinggi untuk membombardir target di Mali.
Belakangan, Amerika Serikat juga menimbang untuk terlibat. Keterlibatan Paman Sam akan berwujud berbagi teknologi dan dukungan logistik bagi Prancis.
NUR ROCHMI | GUARDIAN