TEMPO.CO, Jakarta - Salah seorang calon hakim agung yang menjalani uji kepatutan dan kelayakan, Desnayeti, menyatakan hukuman mati perlu dipertahankan di Indonesia. "Hukuman mati perlu dilakukan, kecuali kalau korban memaafkannya," ujar dia saat tanya-jawab di Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 14 Januari 2013.
Menurut dia, hukuman mati tepat dijatuhkan bagi pelaku peredaran narkotik dan obat terlarang, tindak pidana korupsi, pembunuhan, dan pemerkosaan. Ia mencontohkan salah satu dampak dari tindakan tersebut. "Narkoba dikuasai secara besar-besaran dan berdampak luas," kata Desnayeti.
Hakim yang bertugas di Pengadilan Tinggi Padang, Sumatera Barat, ini mengaku sudah dua kali memutuskan hukuman mati, yaitu bagi kasus pemerkosaan dan peredaran narkoba. Walaupun akhirnya putusan tersebut berubah.
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Hanura, Syarifuddin Suding, mempertanyakan konsekuensi dari putusan hukuman mati. "Mengapa harus dipertahankan? Apakah sudah dipertimbangkan norma dan asasnya?" kata dia.
Menanggapi pertanyaan itu, Desnayeti pun menjelaskan. "Saya menyadari betul tanggung jawab hakim adalah dunia-akhirat. Dalam memutus perkara, bukan hanya berdasarkan keyakinan. Perlu digali fakta dan latar belakang terjadinya peristiwa itu untuk mempertahankan putusan hukuman mati," ucap Desnayeti.
Hukuman mati masih menjadi kontroversi karena dianggap melanggar hak asasi. Berdasarkan Pasal 28 I ayat 1 UUD 1945, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Hari ini, DPR menggelar uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) terhadap enam calon hakim agung. Sebelumnya, Komisi Yudisial sudah menyerahkan dua berkas berisi masing-masing 12 calon hakim agung, sehingga totalnya 24 orang. Sebanyak delapan orang akan dipilih untuk mengisi kursi hakim agung.
Seleksi sudah dimulai sejak Kamis lalu, 10 Januari 2013, berupa pembuatan makalah. Adapun uji kepatutan dan kelayakan dilakukan hingga Rabu, 16 Januari 2013.
SATWIKA MOVEMENTI