Selain KPSI, beberapa serikat buruh yang bergabung dalam pernyataan sikap tersebut adalah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI).
Menurut Said, penangguhan UMP telah dilakukan sejak 2003 dan mekanisme penangguhan sudah diatur oleh Undang-Undang. Mekanisme yang tepat, kata Said, adalah dilakukan sendiri-sendiri oleh masing-masing perusahaan, bukan secara kolektif oleh Kadin dan Apindo. "Ini jelas merupakan langkah politik, bukan langkah hukum. Langkah Kadin dan Apindo mengganggu mekanisme yang selama ini telah berjalan," katanya.
Selain itu, serikat buruh juga mengecam langkah Apindo dan Kadin yang tidak membawa masalah ini ke ajang komunikasi tripartit antara buruh, pengusaha, dan pemerintah, tapi justru membawa masalah ini ke tingkat nasional. "Mereka justru membawa ini ke Menteri Perindustrian atau Menteri Perdagangan dan mendesak mereka untuk memberi kemudahan. Komunikasi tripartit sama sekali tidak dilakukan," kata Said.
Serikat buruh juga menilai langkah pengajuan UMP yang dikoordinasikan Kadin dan Apindo bisa berakibat kontraproduktif terhadap upaya peningkatan daya beli masyarakat.
Direktur Trade Union Rights Center (TURC), Surya Tjandra, menilai kenaikan UMP tidak akan berdampak signifikan terhadap perusahaan meskipun perusahaan tersebut adalah padat karya. "Akibatnya adalah berkurangnya jumlah keuntungan perusahaan, tidak sampai merugi," katanya.
Terkait penangguhan UMP oleh pengusaha, buruh mendesak pemerintah agar memperketat penangguhan UMP, mekanisme penangguhan pun harus sesuai dengan Keputusan Menteri No. 231 Tahun 2003. Pemerintah juga didesak untuk melakukan renegosiasi kontrak bisnis dengan perusahaan sub-kontrak di Indonesia.
Selain itu, buruh juga mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif dasar listrik (TDL), meningkatkan infrastruktur di bidang transportasi, dan memberi insentif pajak pada dunia usaha.
ANANDA TERESIA