TEMPO.CO, Islamabad - Dalam kurun empat tahun ini, ada sejumlah kabar baik dari hubungan India dan Pakistan. Dua negara bersitegang selama lebih dari setengah abad. Kedua negara setuju untuk mengendurkan ketentuan soal visa, yang memudahkan perjalanan bisnis ke dua negara bertetangga itu. Saat tim kriket dari dua negara bertemu Desember 2012 lalu, kata sejarawan dan penulis kriket, Boria Majumdar, suasana pertandingannya cukup baik.
Hubungan keduanya memburuk setelah pengeboman di Mumbai, India, November tahun 2008 lalu. Penembakan dan pengeboman yang terkoordinasi di 12 titik oleh Lashkar-e-Taiba, teroris yang berbasis di Pakistan itu, menyebabkan 164 orang tewas. India menuding intelijen Pakistan memberi dukungan dan perlindungan terhadap kelompok teroris yang markas besarnya di Muridke, dekat Lahore itu.
Kini semua rintisan upaya baik setelah 2008 itu kembali terancam setelah terjadi insiden kontak senjata di perbatasan Kasmir, daerah yang selama ini menjadi pusat perselisihan dua negara sejak 1947 lalu. Awalnya adalah peristiwa kontak senjata pada 6 Januari lalu di perbatasan. Pakistan menuding tentara India melintasi Garis Kontrol--garis de facto antara India dan Pakistan di wilayah Kasmir--serta menyerang pos pemeriksaan Sawan Patra di Haji Pir Pass, yang menyebabkan satu tentara Pakistan tewas.
Bukannya mereda, yang terjadi kemudian adalah insiden serupa dua hari berikutnya. Kali ini giliran India yang menuding pasukan Pakistan menerobos Garis Kontrol di sektor Poonch. Dalam kontak senjata selama setengah jam itu, dua tentara India tewas. Mayatnya ditemukan dalam keadaan dimutilasi di hutan wilayah Himalaya.
Konflik terparah yang terjadi sejak genjatan senjata 2003 lalu ini, menurut harian The Hindu, bermula dari sebuah peristiwa 11 September 2012 lalu. Saat itu, perempuan 70 tahun, Reshma Bi, meninggalkan Desa Charonda, dekat Uri, wilayah India, untuk tinggal bersama anak-anak dan cucunya di seberang Garis Kontrol. Charonda hanya beberapa meter dari perbatasan.
Lolosnya sang nenek menyadarkan India tentang rentannya perbatasan itu. Seminggu kemudian, tentara India membangun bungker pengamatan. Pakistan memprotes pembangunan ini karena melanggar perjanjian genjatan senjata tahun 2003. India tak menghentikan pembangunannya karena merasa itu tak mengancam Pakistan. Awal Oktober, ketegangan mulai meningkat.
Pakistan meminta secara terbuka agar India mengakhiri pekerjaan konstruksi, tapi tak digubris. Akhirnya, Pakistan menembakkan mortir dan senjata otomatis berkaliber tinggi ke posisi terdepan India, meski meleset dan malah menewaskan tiga warga sipil. India akhirnya membalasnya melalui serangan agresif pada 6 Januari 2013, yang kemudian dibalas Pakistan pada 8 Januari 2013.
Meningkatnya eskalasi ketegangan di antara sesama pemilik senjata nuklir ini membuat PBB, juga Amerika Serikat, khawatir. "Kami mendesak keduanya untuk menghormati genjatan senjata dan menurunkan tensi ketegangan melalui dialog,"kata pengawas militer dari Komite Pengawas Militer PBB untuk India dan Pakistan.
Amerika Serikat, melalui kedutaan besarnya di dua negara, sudah menyerukan hal yang sama. "Kami sudah memberi nasihat kepada dua pemerintahan untuk menurunkan ketegangan, menangani isu ini, dan melakukan konsultasi diantara mereka di level puncak, yang sepengetahuan kami sudah berlangsung saat ini," kata Victoria Nuland, jurubicara Menteri Luar Negeri Amerika Serikat.
Ketegangan ini layak memantik kekhawatiran mengingat peristiwa 40 tahun lalu, yang berujung pada perlombaan untuk memiliki, dan menguji coba, senjata nuklirnya. Saat India melakukan uji coba ledakan bom nuklir Pokhran-I pada 18 Mei 1974, Pakistan melakukan ujicoba peledakan Kirana-I pada tahun 1980-an. ketika India melakukan ujicoba ledakan 5 nuklir Pokhran-II pada 11 Mei 1998, Pakistan juga melakukan uji coba ledakan senjata nuklir Chagai-I pada 28 Mei 1998 dan Chagai-II pada 30 Mei 1998.
Mantan Menteri Luar negeri Pakistan, Shamshad Ahmed Khan, mengatakan, ketegangan dan bentrokan ini akan terus terjadi jika kedua negara tak mencoba menyelesaikan masalah Kashmir. Ia menganggap dalam beberapa tahun ini Pakistan dan India hanya fokus pada "isu-isu dangkal"namun cenderung mengabaikan sengketa Kashmir.
Farooq Sulehria, jurnalis dan peneliti Pakistan menambahkan, tidak ada proses perdamaian nyata tanpa menyelesaikan masalah Kashmir. Kalau pun terjadi masa tenang, itu hanya penurunan emosi dan tensi sesaat. Kata Farooq, "Inilah yang terjadi sejak 1947."
HINDU TIMES | DEUTSCHE WELLE | BBC | REUTERS | ABDUL MANAN