TEMPO.CO, Bandung - Tiap datang musim hujan, pekerjaan Mas Nanu Munajar Dahlan alias Abah Nanu, 53 tahun, sering bertambah. Selain mengajar di Jurusan Tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, bergiat di acara seni budaya Sunda, serta melatih petani bunga Cihideung, di padepokan Karang Kamuning, ia sering dapat permintaan mendadak.
Sebagai pawang hujan cukup terkenal di Bandung, banyak yang ingin memakai jasanya. "Biasanya, tiap hari saya cuma sanggup menerima dua permintaan saja," katanya saat ditemui Tempo, Rabu, 16 Januari 2013.
Kalau ada permintaan, Abah Nanu sudah ambil ancang-ancang sepekan sebelum hari H. Persiapannya berupa doa dan zikir 300 kali tiap salat tahajud. Waktunya mulai dari pukul 1 hingga 3 dinihari. Inti dari doanya, ia meminta kepada Tuhan agar pada hari dan alamat tertentu dari pagi sampai sore misalnya, cuaca tetap cerah agar acaranya tidak tersiram hujan. "Ibarat mengajukan proposal, doa itu harus berulang-ulang setiap hari supaya dikabulkan Allah SWT," katanya.
Repotnya, kalau datang permintaan mendadak yang sering sulit ditolak karena hubungan pertemanan. Cara daruratnya, ia melakukan salat sunah mutlak dua rakaat sebelum azan zuhur, atau salat sunah biasa setelah salat wajib itu kemudian berzikir. Ia biasa melakukannya di lokasi acara atau dari tempat yang jauh. Selain itu, mengikuti petunjuk gurunya, Abah Nanu memakai media tanah kering dan membakar rokok berisi kemenyan. "Yang merokok orang lain karena saya tidak merokok," ujarnya. Adapun tanah kering ditebar si empunya hajat untuk menangkal awan mendung mencurahkan hujan.
Abah Nanu mengaku caranya itu seringkali berhasil. "Tapi kalau sudah keburu turun hujan, sudah susah ditolaknya," kata dia.
Kalau mega baru mendung, lewat doanya itu awan gelap bisa buyar. Kadang ia sengaja berdoa agar awan mendung itu bergeser ke daerah tertentu. Namun seringkali ia menyerahkan kepada Tuhan soal lokasi penggeseran awan mendung itu. Pernah di Lapangan Gasibu mendadak cerah pada suatu hari ketika ada acara, dan hujan turun hanya berjarak 100-200 meter dari lapangan di depan Gedung Sate, Bandung, itu. "Pernah juga awannya hujan begitu sampai di Cimahi," katanya.
Secara kasat mata, Abah Nanu pernah menangkap saling geser awan mendung di langit. Menurutnya, itu kerja para pawang hujan yang sedang 'mengawal' acara supaya sukses di berbagai tempat. Kalau awan mendung sudah berkumpul merata di langit, katanya, sulit juga para pawang 'membuang' mega ke tempat lain. "Apa boleh buat, hukum alam tak bisa dilawan. Setelah dihujankan satu jam, setelah itu biasanya cerah lagi," katanya.
Menjadi pawang hujan sejak 1990-an, pelanggan Abah Nanu berasal dari berbagai kalangan. Diantaranya masyarakat yang akan hajatan, kalangan tentara, kru film, seniman yang mau berpameran, galeri seni, serta kampus. Pekerjaan itu dianggapnya sambilan karena niatnya hanya ingin membantu orang. Ia pun tak menetapkan tarif khusus, melainkan sukarela. Sakunya pernah terisi ratusan ribu hingga jutaan rupiah dari para pelanggannya. "Paling besar pernah dapat Rp 10 juta selama jadi pawang 10 hari di acara Dies Emas ITB," katanya.
ANWAR SISWADI