TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Direktur Bank Central Asia, Jahja Setiaatmadja berkeberatan menaikkan porsi kredit untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Alasannya langkah tersebut dianggap membatasi penyaluran kredit produktif ke sektor lain. “Ini bisa menjadi pemberat untuk dukungan pada kredit besar,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, Selasa 22 Januari 2013.
Industri perbankan harus menaikan porsi kredit bagi UMKM setelah Bank Indonesia mewajibkan bank menyalurkan minimal 20 persen kredit ke UMKM sejak 21 Desember 2012. Keengganan BCA, menurut Jahja, karena memprediksi melonjaknya kebutuhan kredit besar untuk proyek infrastruktur seperti pembangunan pembangkit listrik dan jalan tol. Pembiayaan untuk proyek infrastruktur diperkirakan mencapai Rp 2 triliun per bank. "Untuk mencapai Rp 2 triliun, dibutuhkan berapa besar kredit ke UMKM," ucapnya.
Menurut Jahja, menjaga porsi kredit UMKM minimal 20 persen membatasi ruang gerak bank nasional. Akibatnya proyek-proyek besar akan diambil oleh bank asing. "(Bank lokal) akan tidak comply, dia tidak bisa penuhi, slotnya sudah habis.” Kendati menolak, Jahja mengklaim BCA termasuk tinggi dalam penyaluran kredit UMKM yang mencapai 15 persen.
Dalam aturannya, Bank Sentral menetapkan masa penyesuaian bagi perbankan selama 6 tahun hingga 2018. Dua tahun pertama, BI masih memberi kebebasan industri untuk menetapkan targetnya. Di tahun ketiga, perbankan harus mencapai minimal 5 persen pembiayaan UMKM, lalu 10 persen di tahun keempat, 15 persen di tahun kelima, dan 20 persen di tahun terakhir.
Besaran ini tidak berlaku bagi bank yang telah berfokus pada pembiayaan kepemilikan rumah untuk kepentingan rakyat. Namun, untuk memperbesar porsi kredit usaha kecilnya, perbankan dapat menggunakan mekanisme linkage maupun channeling. Bank Sentral memberikan kelonggaran bagi bank dengan fokus bisnis yang berbeda, lebih khusus lagi bank asing dan bank campuran. Kredit UMKM bisa disubstitusi dengan kredit ekspor non migas.
Wakil Direktur Utama Bank Permata, Herwidayatmo memaklumi kesulitan yang dikhawatirkan BCA. "Semua bank kalau diatur terlalu ketat kemungkinan seperti itu, tapi kalau Permata tidak masalah,” katanya. Porsi kredit UMKM Bank Permata, Herwidayatmi menambahkan, mencapai 14 persen.
Direktur Kepatuhan Bank Pan Indonesia (Panin Bank), Antonius Ketut Dwirianto menilai kebijakan BI tidak mengancam bisnisnya. Ia mengklaim porsi kredit usaha kecilnya mencapai 37-38 persen. Dwirianto menilai kredit UMKM memiliki potensi. Alasannya, "Tidak terdampak langsung oleh risiko nilai tukar," ujarnya.
Ekonom dari Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetyantono menilai wajar kekhawatiran Jahja karena BCA berfokus pada kredit korporasi. "Tapi angka 20 persen bukan berlebihan,” katanya. Menurut Tony, banyak bank lain yang siap menerapkan kebijakan ini.
Ia menilai keengganan bank memperbesar porsi kredit UMKM justru menghindari peluang bisnis yang diprediksi terus berkembang. "UMKM menarik karena margin bunga bersih paling tebal. (Penyalurannya) memang ribet tapi jika bisa dikelola risikonya akan menjadi segmen unggulan, seperti halnya BRI dan Danamon menikmatinya,” ujarnya.
MARTHA THERTINA