TEMPO.CO, Semarang - Mantan Menteri Kesehatan Faried Anfasa Moeloek menilai khitan perempuan sebenarnya tidak berdampak pada kesehatan. Faried melihat ini merupakan ritual budaya, atau ada yang melihat sebagai ritual keagamaan saja.
"Perempuan Eropa tak dikhitan juga baik-baik saja," kata Faried kepada Tempo, Kamis, 24 Januari 2013.
Tapi, kata ginekolog ini, khitan perempuan bisa saja dilakukan, asalkan dengan metode yang tepat dan steril agar tidak terjadi infeksi atau pendarahan. "Silakan, asal organnya atau klitorisnya jangan dimutilasi atau dipotong," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Mutilasi klitoris seperti yang di Afrika sangat berbahaya karena akan menyebabkan gangguan reproduksi. Mutilasi ini, menurut ia, kadang berdampak pada gangguan sekresi urin atau darah menstruasi sehingga mengakibatkan infeksi kandung kemih atau infeksi saluran reproduksi serta kemandulan. "Karena itulah WHO (Badan Kesehatan Dunia) melarangnya," ucap Faried.
Senin pekan ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah organisasi massa Islam menolak pelarangan khitan atau sunat pada perempuan. MUI meminta rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat untuk melayani permintaan khitan perempuan. "Yang kami tolak itu pelarangan, jadi kalau ada permintaan khitan jangan ditolak," kata Ketua MUI KH Ma'ruf Amin di kantornya.
Pernyataan MUI dan organisasi Islam ini menanggapi beredarnya surat Direktur Bina Kesehatan Masyarakat tertanggal 20 April 2006 tentang larangan sunat perempuan bagi petugas kesehatan. Akibatnya, hampir sebagian besar bayi perempuan tak lagi disunat. Menurut surat itu, sunat perempuan tak bermanfaat bagi kesehatan, justru merugikan dan menyakitkan.
SUNDARI