TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 60 hektare atau 75 persen dari total luas Waduk Pluit, Jakarta Utara, tertutup tanaman eceng gondok. Akibatnya, air yang masuk ke waduk menjadi tersendat dan mesin pengangkut sampah kerap rusak akibat gangguan tanaman tersebut.
"Sudah sulit dikendalikan. Kami harapkan dalam sebulan ini bisa segera dibersihkan," ujar koordinator pengerukan Waduk Pluit, Heryanto, pada Tempo, Sabtu, 26 Januari 2013.
Minimnya pemeliharaan waduk serta gaya hidup tidak sehat warga dengan membuang sampah ke sungai menjadikan waduk sebagai pusat sampah. Padahal, sejak awal, waduk ini diperuntukkan menampung air di Ibu Kota. "Lihat saja saat pengerukan, ada rumput, kasur, eceng gondok, dan semua sampah," kata dia.
Saat ini, dari sekitar 80 hektare luas waduk, sekitar 25 persen atau 20 hektare di antaranya sudah dipenuhi permukiman liar warga sekitar, yang memiliki perhatian minim terhadap kebersihan lingkungan. "Saat saya masuk ke permukiman, ketinggian rumput di sekitar rumah sudah di atas dua meter," ujarnya.
Akibatnya tidak dipungkiri, saat banjir kiriman tiba, waduk tidak mampu menahan volume air dan meluber ke permukiman warga. "Saat musibah kemarin, kalau waduknya dalam, pasti semua banjir kiriman mampu ditampung," ujarnya.
Untuk mengangkut sampah dalam waduk, sebanyak 10 kendaraan dump truck, enam kendaraan alat berat, serta puluhan pegawai disiagakan di sekitar lokasi. Rencananya, pengangkatan sampah ini ditargetkan selesai hingga satu bulan ke depan, sebelum pengerukan Waduk Pluit dilakukan. "Kalau pengerukan tanpa pengangkatan sampah dahulu, sulit," ujarnya.
Saat ini, dari empat waduk besar di wilayah Jakarta Utara, Haryanto menambahkan, rata-rata hanya memiliki kedalaman sekitar 2-3 meter. Padahal kedalaman optimal waduk minimal 10 meter sehingga memungkinkan menampung cukup air. "Kalau air laut lebih tinggi, yang memungkinkan jalannya air dari darat adalah ke waduk," ujarnya.
JAYADI SUPRIADIN